Sejak lahir aku tak pernah sendiri. Selalu bersama Gold, kembaranku. Hingga
kini aku tak pernah berpikir untuk berpisah dengannya. Aku sungguh sangat
mencintainya dan aku takut perasaan ini terhalang oleh hubungan darah. Dosakah
aku jika aku mencintainya sepenuh hati?
Enambelas tahun terlewati dan aku masih bersamanya. Perasaanku padanya juga
masih sama, tak berubah sedikitpun. Entah dia tau atau tidak,
perasaanku padanya bukan hanya sebatas rasa cinta pada saudara tapi lebih dari
itu. Aku jatuh cinta pada kembaranku sendiri dan aku bahagia dengan perasaan
ini.
Aku tau Gold sudah punya pacar dan dia sangat menyayangi pacarnya.
Namanya Yui, cantik, rambutnya ikal, pintar dan tentu saja aku sangat
membencinya. Aku tak bisa menerima kenyataan yang seperti ini. Yang aku mau,
Gold selalu bersamaku, bukan dengan Yui. Aku takut Gold akan pergi jauh
meninggalkanku.
Entahlah mengapa setiap berjumpa dengan Yui aku tak pernah baik padanya.
Hawa dan auraku mendadak berubah jelek bila di dekatnya. Aku akui, aku memang
jahat sekali padanya. Aku selalu menyakitinya. Mungkin aku terlalu cemburu
padanya, mungkin aku iri padanya atau mungkin aku memang sangat tidak
menginginkannya menjadi pacarnya Gold.
Di sekolah, saat jam istirahat, aku berpapasan dengan Yui. Aku menariknya
hingga ke gudang sekolah.
”Lepaskan!!!” Yui berteriak padaku.
Aku melepaskan tangannya dengan sedikit gaya keangkuhanku. ”Diam dan
dengarkan aku!” aku balas membentaknya.
Yui terdiam dan matanya menatapku dengan mata yang merah, nafasnya panas
karena dia juga sangat marah padaku.
”Aku gak suka kamu jadi pacar kakakku. Kamu gak pantas dapetin hatinya. Aku
gak akan pernah restuin hubungan kalian. Pokoknya hari ini kalian harus putus!
Putus!!!”
”Apa alasanmu bicara seperti itu, hah?” Yui bertanya dengan senyum
sisnisnya. ”Kau sendiri tak punya alasan untuk memisahkan aku dengan Gold. Aku
mencintai Gold dan Gold mencintai aku. Apa salahnya dengan semua itu?”
Tiba-tiba lidahku beku mendengar semua kata-kata Yui.
Senyum Yui makin melebar ketika melihatku beku dihadapannya dan itu sangat
merendahkan harga diriku. ”Oh, atau jangan jangan...kau menyukai saudaramu
sendiri? Kau ingin agar Gold menjadi milikmu seutuhnya. Ha ha ha, konyol
sekali!!! Kau egois!” kata Yui menusuk hatiku.
”Bukan seperti itu!” aku membentaknya. Karena tak bisa mengendalikan emosi,
aku menendang kakinya lalu pergi dari gudang itu dengan rasa yang kacau. Aku
menangis, sangat memalukan.
Seharian ini, setelah kejadian itu aku mengurung diri di dalam kamarku. Aku
enggan bertemu Gold. Aku takut Gold akan marah padaku karena telah menyakiti
pacarnya. selang waktu lima menit terdengar ketukan pintu kamarku. Mungkin itu
Ibu yang khawatir dengan keadaanku atau itu Gold. Tapi aku mengacuhkannya. Aku
tak mau bertemu seorangpun. Badanku lemas, mataku bengkak dan basah, aku pusing
sekali. Semuanya berputar-putar di kepalaku. Aku memikirkan tentang semuanya.
Rumit sekali!
”Pink...bangun...”
Aku merasakan lima buah jari menyentuh pipiku, dan jari itu milik Gold.
Perlahan kubuka mataku, samar-samar...ada matanya, ada hidungnya, ada bibirnya,
lengkap. Gold memandangiku, aku juga memandanginya. Aku gak tau harus bilang
apa. Untuk beberapa menit kami tak bicara.
”Lihatlah pintumu...” Gold memperlihatkan pintuku yang rusak
”Rusak...”
”Ibu menyuruhku mendobraknya karena pintunya kau kunci dari dalam” kata
Gold setengah tertawa.
”Tak perlu lakukan itu...”
”Apa masalahmu dengan Yui? Kalian bertengkar?” tanya Gold dengan lembut.
Dari dalam lubuk hatiku aku merasa sangat bersalah pada Gold dan juga pada
Yui. Tak seharusnya aku seperti ini, benar yang dikatakan Yui, aku egois. Aku
hanya mementingkan perasaanku tanpa memikirkan perasaan Gold dan Yui. Aku tak
pernah memikirkan apa yang terbaik buat Gold. Aku menyesal. Aku benar-benar
salah telah memendam perasaan terlarang ini.
Tak kuasa aku membendung air mataku. Aku menangis didepannya. ”Maafkan
aku...”
Gold memelukku. Sudah lama aku merindukan pelukan ini. Aku ingin selalu
disisinya, selama-lamnya, tapi mungkin tak bisa. ”Kau bodoh sekali...” kata
Gold setengah berbisik. Dia melepaskan pelukannya. Dia memandangiku yang masih
menangis.
”Maafkan aku...” aku mengulangi perkataanku.
”Tidak suka ya, jika aku pacaran dengan Yui?”
Aku masih menangis.
”Kau kenapa Pink? Pink yang aku kenal bukan seperti ini. Jelaskan
apa masalahmu padaku!!!”
“Dari dulu, mungkin dari sejak lahir yang aku suka cuma kamu. Aku ga
tau mengapa bisa begitu. Perasaanku ini bukan sekedar suka karena kau
saudaraku. Tapi aku, aku...”
”...” Gold tersenyum.
”Aku cinta padamu!” Oh, apa yang telah aku ucapkan? Aku mengatakannya.
Bagaimana dengan Gold? Apa yang akan ia ucapkan? Apa dia akan marah padaku?
”Aku juga cinta padamu, Pink!” ucapnya dengan jelas.
Apa aku tidak salah dengar? Gold mengatakan cinta padaku. Apa dia
sungguh-sungguh? Atau hanya sekedar menghiburku?
“Hubungan darah itu tak bisa dipisahkan Pink. Kita sedarah dan sehati. Apa
yang kau rasakan aku juga merasakannya. Kau mencintaiku dan aku mencintaimu.
Tapi kau harus mengerti perasaan cinta tidak hanya sekedar mengikat dan
terikat, tidak hanya memiliki dan dimiliki. Perasaan cinta juga harus memahami
orang yang dicintainya. Membuat orang itu bahagia dan tersenyum.”
Habis dayaku untuk mempertahankan perasaan yang aneh ini. Kali ini aku
harus merelakannya. Jika aku mencintai Gold, aku harus bisa membahagiakannya
meskipun harus mengorbankan perasaanku. Aku ingin Gold bahagia. Tapi...apa
takdirku memang seperti ini?
”Gold, aku hanya takut kau meninggalkanku...”
Gold menggeleng. ”Tak akan pernah! Aku berjanji akan selalu ada saat kau
membutuhkanku”
Ya setidaknya aku akan berusaha menerima kenyataan hidup. Aku percaya Gold
tak akan meninggalkanku, meskipun menempuh hidup lain bersama Yui, karena aku
dan Gold sedarah dan sehati. Apa yang aku rasakan sama dengan apa yang ia
rasakan.
Ketika aku sudah mengerti dan memahami semuanya, aku mencoba membenahi kesalahanku,
mengenai salahku pada Yui selama ini.
”Maaf...” kataku sembari mengulurkan tanganku. Aku berharap dia mau baikan
denganku.
Plak!!! Tangan Yui melayang kepipi kiriku. Dia menamparku dengan keras.
Mungkin pipiku merah dengan cap tangannya.
”Sakit!” desahku
”Tendanganmu yang waktu ini juga sakit...” Yui tersenyum dan menjabat
tanganku. ”Maafkan aku juga...” sambutnya.
Oh, inikah akhir dari semua ini. Tidak menyakitkan. Tidak membahagiakan.
Tidak ada yang kehilangan. Dan aku bisa menerimanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar