Kriuuuk!!!
Nyam...nyam...nyam... Kriuuuk!!! Kriuuuk!!! Nyam... Begitulah, sepulang sekolah
aku hanya mengunci diri di kamarku dan menghabiskan snack yang kubeli satu per satu.
Bungkus taro, citato, lays, dan sea crunch, berhamburan dilantai tanpa
kupedulikan. Aku melirik tasku, masih ada sepuluh snack lagi, lalu aku kembali
memasukkan makanan ringan itu kemulutkku. Nyam...nyam...nyam...
Sebenarnya aku
punya program diet dan pantang melakukan hal terlarang seperti ini. Tapi aku
punya alasan. Aku stress! Kata temanku obat mujarab penghilang stress adalah
makan. Bayangkan makanan itu adalah orang yang kita benci dan habiskanlah agar
rasa benci itu masuk ke perut. Menurutku ini memang benar-benar ampuh.
Setelah
menghabiskan semuanya aku minum air sebanyak-banyaknya. Kata Mamaku setelah
makan makanan ringan agar tidak radang tenggorokan aku harus minum air. Perutku
penuh dengan kebencianku. Oleh sebab itu aku jadi mengantuk dan tertidur.
Malam harinya
Mama memarahiku karena tahu aku telah menghabiskan banyak snack hari ini.
“Wina, Mama
kan sudah bilang berulang kali, jangan makan snack-snack kayak begini. Kamu
makannya banyak lagi. Nanti kamu bisa sakit”
“Tenang aja
Ma...tadi Wina dah minum air yang banyak kok”
“Walaupun
sudah minum air tapi kalo makan snack sebanyak ini tenggorokanmu bisa sakit”
Mama lalu meraba bagian leher dan dahiku. “Tuh kan...panas...kamu sakit kan
jadinya. Udah sekarang cepat pergi tidur. Biar besok bisa ke sekolah”
Tanpa
perlawanan lagi aku masuk kamar dan berbaring di tempat tidurku. Sayangnya tadi
siang aku sudah tidur, jadi untuk tidur cepat malam ini rasanya sia-sia saja.
Dalam situasi tak bisa tidur seperti ini kembali memancingku untuk memikirkan
hal-hal bodoh yang seharusnya tak perlu dipikirkan lagi. Tapi tetap saja tak
bisa aku abaikan.
“Aku bingung
tau sama pacarku. Sebenarnya pacarnya itu kamu atau aku. Setiap hari pasti
hanya ada namamu...Wina...Wina...Wina...dan Wina...BT tau gak! Aku kira kita
temen, sahabat, atau apalah namanya itu...Tapi kamu udah bikin aku
kecewa...kecewa!!!” Kata-kata itu terngiang-ngiang lagi. Karin marah padaku
karena Dira selalu ingin membuat Karin menjadi sepertiku. Mereka pacaran.
Menurutku mereka pasangan yang serasi secara fisik. Tapi kehadiranku ini
terlalu mengganggu mereka. Apa lagi terhadap Karin, dia teman sebangkuku. Aku
sangat merasa bersalah padanya. Semua ini gara-gara Dira, karena dia seperti
ini aku yang kena getahnya.
Apa sih yang
Dira lihat dari diriku? Dalam skala fisik 10 aku hanya mendapat nilai 5,5. Dari
segi otak aku juga termasuk siswi yang biasa-biasa saja, ulangan tertinggiku
hanya 80, tidak lebih. Tapi kenapa dia seakan selalu menghantuiku? Selalu
membuat aku sial seperti ini.
Lewat tengah
malam, mataku masih terang. Aku belum bisa tidur. Parahnya aku mulai merasa
badanku panas, tenggorokan yang sakit dan gejala tidak enak badan lainnya.
Akhirnya aku tertidur juga membawa semua rasa ini yang harus aku tanggung
sendiri.
Pagi ini
terang saja aku tidak sekolah. Aku sakit. Mamaku sudah membuatkan surat sakit
untuk ijin tidak sekolah yang ditipkan pada Karin. Karin lalu meneleponku.
“Wina...kamu
beneran sakit?” tanya Karin dari seberang sana .
“Ya...”
jawabku lemas.
Selang waktu
Karin terdiam lalu dia bicara lagi,” Maaf ya Win. Kemarin seharusnya aku ga
sekasar itu padamu. Setelah aku pikir-pikir memang semua ini salahku. Mungkin
memang aku ma Dira gak cocok lagi. Tapi...sudahlah...”
“Dira yang
brengsek!” kataku kemudian.
“Haaa?”
Sepertinya Karin jadi terkejut setelah perkataanku tadi. “Na, kita masih
sahabatankan?”
“Ya tentu
saja...” jawabku kemudian.
Lalu Karin
menutup teleponnya. Aku sedikit lega karena setidaknya Karin bisa menerimaku
lagi. Karin yang minta maaf padaku, padahal aku yang jadi biang masalahnya. Terserahlah...aku
mau istirahat. Kepalaku lama-lama makin sakit. Oh, menderitanya hidupku.
Keesokan
harinya aku agak mendingan. Enggan rasanya pergi ke sekolah apalagi untuk
bertemu Dira. Dengan terpaksa pagi ini aku berangkat ke sekolah karena tidak
ingin ketinggalan pelajaran lebih banyak lagi.
Sialnya orang
pertama yang aku jumpai setibanya di dekolah adalah Dira. Aku menahan napas
ketika Dira menatapku. Aku segera pergi menghindar. Tapi Dira mengikutiku. Aku
kumpulkan segenap keberanianku dan berhenti di sebuah lorong kelas sekolahku.
“Apa maumu?”
tanyaku setengah berteriak. “Puas???” bentakku lagi. “Gara-gara kamu aku hampir
saja ditinggal sahabat. Kenapa kau selalu menyusahkan aku? Apa salahku?”
“Win kamu
sudah sembuh?” Dira malah bertanya padaku.
“Haaa?” Aku
sedikit bingung dengan pertanyaannya.
Dira lalu
meraba dahiku, “Panas...” katanya kemudian.
Aku menatapnya
aneh. Lalu aku pergi tanpa mempedulikannya lagi. Aku segera mencari Karin di
kelas.
“Wina...”
Karin memanggilku ketika aku sampai di dalam kelas.
Aku segera
menghampirinya dan duduk di kursiku.
“Kemarin aku
nangis gara-gara sakit hati. Aku diputusin Dira. Padahal awalnya aku yang mau
putusin dia. Tapi sekarang aku gak sedih lagi. Kamu bener Win, Dira emang
jahat! Untuk apa aku nangis-nangis gara-gara dia. Sekarang dia udah punya pacar
baru. Namanya Rena, anak kelas sebelah. Gila gak tuh...si Dira!!!” jelas Karin.
Aku diam saja
mendengarkan cerita Karin. Dalam otakku tak henti-hentinya berpikir, kenapa ada
orang seperti Dira. Setelah Karin, apakah cewek barunya itu akan menghukumku
juga. Apakah harus selalu bersangkutan dengan kehidupanku. Padahal aku tak
pernah mengganggu kehidupan Dira, apalagi tentang pacar-pacarnya itu.
Hari berlalu
dan ternyata tak begitu menyulitkan kehidupanku. Aku bisa bernapas tenang tanpa
Dira yang selalu memberiku masalah-masalah gila atau tentang pacar-pacarnya
yang selalu menuntutku untuk menjauhi Dira padahal aku tak ada hubungan apa-apa
dengan Dira.
“Win, nanti
sore kita jadi nonton kan...?” tanya Karin pada suatu hari lewat telepon.
“Ya...nanti
aku tunggu di tempat biasa,” jawabku.
“Siiip!!!”
Hari ini aku
mau nonton konser. Bukan band favoritku, tapi ini band kesukaannya Karin.
Meskipun demikian aku tetap ikut karena aku bosan diam dirumah. Ketika sudah
siap, aku menunggu Karin menjemputku di halte tempat menunggu angkutan umum.
Lama aku menunggu Karin, ini sudah jadi kebiasaannya yang menyebalkan.
Tiba-tiba saja
seorang gadis menghampiriku. Aku kenal gadis ini, namanya Rena. Setahuku dia
sekarang pacarnya Dira. Apa yang akan terjadi sekarang? Tanyaku dalam hati.
“Ini ya...yang
namanya Wina...” kata Rena sinis di depanku.
Aku diam saja,
mencoba tidak memperhatikannya.
“Eh, kalo
orang bicara tu...perhatiin donk!” bentaknya. “Sopan sedikit!!!”
“Sopan? Siapa
yang gak sopan?” tanyaku.
“Kamu!!! Dasar
cewek murahan, sukanya merebut pacar orang!” katanya lantang dan membuatku
mulai naik darah.
“Siapa? Salah
orang kali...” kataku menahan emosi.
“Kamu!!!
Setiap hari aku selalu dibanding-bandingi dengan kamu. Apa yang aku lakukan
untuk Dira selalu salah. Apa yang aku coba berikan untuk Dira selalu salah.
Selalu harus seperti kamu...”
“Aku?”
“Ya!!!”
Lalu Karin
datang menghampiri kami. Terang saja dia heran kenapa ada perdebatan seperti
ini. “Ada apa
Win?” tanya Karin pelan.
Rena memalingkan
penglihatannya pada Karin dan menarik tangannya. “Karin...kamu gak tau ya,
gara-gara Wina dulunya kamu jadi putus sama Dira dan sekarang gara-gara Wina
juga...aku jadi putus sama Dira. Semua gara-gara dia!!!” kata Rena sambil
menuding-nuding wajahku.
Karin hanya
diam saja dan menatapku. Aku tak tau apa yang Karin pikirkan. Apakah dia akan
salah sangka karena hasutan Rena? Tapi akhirnya Karin memperlihatkan matanya
yang mulai merah berair, dia menangis dan kembali menyalahkan aku. Tak tahu
harus bagaimana, aku menyetop sebuah angkutan umum lalu pulang meninggalkan
semua yang selalu menyalahkan aku.
Di sekolah
rasanya semua orang ingin membunuhku. Entahlah apa yang sudah Rena ceritakan
tentang aku pada semua makhluk di sekolah ini. Tak ada teman, tak ada sahabat,
tak ada satupun orang yang mengajakku bicara. Karin tak mau bicara padaku. Dia
terlanjur salah sangka. Sudah berjuta-juta penjelasan aku utarakan padanya,
tapi tetap saja tak mau mengerti. Aku menghela napas dalam-dalam. Aku ingin
melarikan diri keluar angkasa.
Jam pelajaran
usai. Semua orang sudah pulang. Aku sendiri duduk termenung memikirkan apa yang
harus aku lakukan untuk terbebas dari semua ini. Apa yang salah dari diriku
ini? Semua berawal sejak tahun ajaran baru kenaikan kelas dua yang membuat aku
satu kelas dengan Dira. Awalnya dia selalu mendekatiku dan entahlah dia
menyimpan perasaan apa padaku. Selalu seperti itu. Aku tak pernah
menghiraukannya, aku tahu, aku tak begitu pantas dengan cowok idola di
sekolahku, dan selain itu aku tahu dia sudah punya pacar. Semenjak itu hidupku
tak pernah tenang. Pacar-pacarnya selalu menyalahkan aku, termasuk Karin dan
Rena. Aku sudah tidak kuat lagi dengan semua ini.
Dari balik
pintu ada seseorang yang tak pernah aku harapkan kehadirannya. Dira datang
dengan santai sambil menenteng jaketnya yang tidak dia kenakan.
“Belum pulang
Win?” tanyanya padaku.
“Aku mau
bicara sebentar denganmu,” kataku tegas.
Dengan cepat
Dira menghampiriku lalu duduk di atas mejaku. “Tentang apa?” tanyanya lagi.
“Aku gak pernah
mengerti apa sebenarnya maumu. Aku juga gak terlalu ingin tau tentang itu
karena itu semua bukan urusanku. Tapi jelaskan pada pacarmu atau
mantan-mantanmu itu kalo kita berdua tak ada hubungan apa-apa.”
“Lalu...”
“Mereka semua
menyalahkan aku dan bilang aku yang merebutmu. Padahal sama sekali aku tak
pernah ada sangkut pautnya dengan kehidupanmu. Mereka merasa tersaingi dengan
keberadaanku dan selalu kau banding-bangdingkan antara aku dan mereka”
“Hmm...aku
menjadikanmu contoh untuk mereka”
“Omong kosong!”
“Bener kok...”
“Aku mau kau
memperbaiki imageku di sekolah ini. Karena semua gara-gara kau teman-temanku
menjauhiku”
“Oh ya? Ini
semua gara-gara aku?”
“Ya!”
“Baiklah akan
segera ku bereskan...maafkan aku sebelumnya”
“Maaf saja
tidak cukup,” kataku lalu pergi meninggalkan kelas.
Setidaknya aku
sudah sedikit tenang. Aku berharap Dira bisa medengarkan perkataanku dengan
baik. Aku hanya ingin teman-temanku kembali lagi. Karena memang benar aku tak
ada salah apa-apa.
Perubahan yang
cepat. Dira memegang perkataanku. Hidupku kembali seperti semula. Karin juga
sudah seperti sediakala. Aku senang Karin bisa mempercayaiku lagi. Aku tak
ingin teman-temanku kembali menjauh hanya karena salah paham tentang aku dan
Dira.
“Terimakasih,”
kataku pada Dira ketika aku bertemu dengannya di toko buku.
Dira hanya
manggut-manggut. “Aku gak tau sebenarnya apa yang kamu pikirkan tentang aku...”
kata Dira lalu melemparkan sebuah buku padaku.
“Aku jaga gak
tau apa yang sedang kamu pikirkan...” kataku lalu aku dilempari dua buku dan
terpaksa aku yang membawakan buku-buku ini.
“Sebenarnya
aku suka kamu,” kata Dira dengan santainya. Dia lalu memberikan aku lima buah
buku lagi dan menyuruhku membawakannya.
Mendengar
perkataanya barusan aku hanya bisa diam. Aku memperahatikan buku-buku
pilihannya yang mungkin akan dibelinya semua.
“Tapi
sayangnya...kau selalu menghidar dariku...Kenapa Win?”
Aku tetap
diam.
“Lalu aku
mencari-cari orang yang seperti kamu...tapi gak ada. Mereka semua gak bisa
gantiin kamu”
Bibirku makin
beku.
“Tolong...”
kata Dira lalu memberiku tiga buah buku lagi dan menyuruhku untuk
membawakannya.
“Akan kau beli
semua?” tanyaku pada Dira dan akhirnya aku bisa bicara.
Dira
mengangguk. “Cukup untuk aku habiskan diwaktu liburan nanti”
Keluar dari
toko buku Dira menanyakan sesuatu padaku. “Wina kamu mau kan jadi pacarku?”
Tentu saja aku
diam mengingat semua yang telah aku alami dan disalahkan oleh mantan pacarnya.
Aku tak bisa menjawab. Mungkin ini membuat Dira menunggu. Aku menahan napasku
berharap Dira akan memalingkan pembicaraan dan membuatku sedikit lega.
“Kalau kau
diam artinya mau,” kata Dira yang sama sekali tak pernah aku bayangkan. “Mulai
sekarang kita pacaran,” katanya lalu meninggalkan aku yang hanya bisa beku.
Semenjak itu
aku jadi pacarnya Dira. Meskipun sudah aku tolak tapi tetap saja statusku
adalah pacarnya Dira. Banyak temanku yang protes. Semua yang aku takutkan
bermunculan satu persatu. Tapi pada akhirnya semua terlewati dengan baik-baik
saja. Dira sudah dapat apa yang dia inginkan yaitu aku. Mungkin dengan begini
aku tak akan pernah dipersalahkan lagi karena dituduh merebut pacar orang.
Sekarang Dira pacarku jadi aku tak pernah merebut siapa-siapa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar