CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 20 April 2013

Kalian yang Membuatku Menangis

Aku capek sekali, naik sepeda di hari sepanas ini, di bawah matahari yang lagi narsis-narsisnya di atas sana. “Panaaas!!!” keluhku berkali-kali, tapi sayang tak ada yang peduli. Keringat dari kepala sampai telapak kakiku keluar deras. Lama-lama aku bisa dehidrasi. Aku haus, ingin jajan, beli minuman kaleng atau jus di toko-toko yang sedang aku lewati. Aku melirik isi kantongku, cukup!
Aku berhenti di depan sebuah cafe kecil. Sudah lama tidak minum jus apel dan mencicipi kue-kue cantiknya. Ketika aku menjongkrak sepedaku, tiba-tiba aku mendengar suara yang tidak asing lagi.
“Miaaa...Miaaa...Miaaa...” teriak Rere memanggil namaku. Seorang gadis seumuran denganku itu seperti dikejar gajah berlari kearahku. Tidak jarang dia menabrak orang yang berjalan di depannya lalu minta maaf, berlari lagi, menabrak orang lalu minta maaf lagi, demikian seterusnya. Aku heran menatapnya, berdiri di depan pintu cafe tanpa ekspresi apapun.
Tak lama, Rere sudah sampai di depanku dengan nafas yang tidak beraturan. Dia berusaha menenangkan nafasnya lalu tersenyum padaku. Aku tak membalas senyumnya karena dia langsung memelukku. Aku gerah jadi aku tak suka dipeluk.
“Basah...” kata Rere.
“Itu keringatku, tenang saja tidak bau kok,” sahutku.
“Mia pake deodorankan?”
Tanpa menghiraukan pertanyaan ga penting itu, aku langsung masuk ke dalam cafe. Rere mengikutiku dari belakang. Aku memesan segelas jus apel. Rere juga memesan jus yang sama.
Rere memandangku lalu senyum-senyum sendiri. Dia menatapku terus menerus, aku merasa terganggu. Aku memalingkan pandanganku, melihat poster-poster yang terpajang di dinding cafe. Lima menit berlalu, tak sepatah katapun terucap dari mulutku. Selama itu Rere juga tak bicara, dia hanya senyum-senyum ga jelas. Sampai akhirnya pesananku datang.
“Mia...” Rere memancingku untuk bicara.
Aku diam saja, sibuk dengan jusku yang ingin segera kuhabiskan lalu pergi dari cafe ini.
“Mia marah ya?” tanya Rere.
Aku terpaksa berbohong. “Tidak!” jawabku singkat.
“Maafkan aku Mia...”
“Maaf?” tanyaku balik.
Mia memasang wajah memelasnya padaku, “Ya...maafkan aku...”
Aku benci sikap Rere yang bermanja-manja denganku. “Tak ada yang perlu dimaafkan, karena tak ada yang salah dan harus dipermasalahkan lagi. Aku capek!!!” jelasku setelah segelas jus di hadapanku telah habis sampai tetes terakhir. Aku mau pergi.
Rere dengan cepat memegang tanganku, matanya sudah basah. Dia menangis. Apa semua ini gara-gara aku? Seandainya saja aku pembunuh bayaran, aku akan segera pergi dan tidak memperdulikan lagi gadis yang menangis karena menyesali perbuatannya. Tapi aku sungguh tak tega. Aku duduk lagi, mengeluarkan tisu dari tasku dan memberikannya pada Rere. Aku menghela nafas, aku malu pada orang lain yang memandangi kami, aku pasti tertuduh menjadi orang yang menyakiti, padahal aku yang disakiti.
“Dera sudah cerita padaku. Dia memilihmu dari hatinya yang paling dalam. Tak usah diragukan. Aku tau dia orang yang seperti apa,” kataku dengan tenang.
Rere mengusap air matanya dan mendengarkanku dengan baik. “Tapi bagaimana dengan Mia?”
“Aku? Jangan khawatir! Aku gak akan mengganggu kalian. Tugasku di sekolah sangat banyak, PR ku juga menumpuk, aku tak akan sempat untuk mempermasalahkan hal semacam itu”
“Lebih baik aku putus saja. Aku ga enak sama Mia...”
“Jangan!!! Nanti aku yang gak enak padamu”
“Tidak! Lebih baik aku putus saja, aku gak mau Mia terus-terusan bersikap dingin padaku. Aku tau semua ini karena salahku. Aku jadian sama Dera, padahal aku tau dari dulu Mia suka sama Dera”
“Cukup!” Aku menghela nafas lagi. “Tenang saja. Aku ga tertarik sama cowok yang menyebut dirinya dengan namanya sendiri dan cengeng seperti Dera. Sekarang aku juga sudah tidak ada rasa apapun pada Dera.”
“Tapi kenapa Mia tadi mendiamkan aku, Mia marahkan?”
“Gak, aku cuma capek,” jawabku dengan senyum kecil di ujung bibirku. Mungkin itu bisa menenangkan keadaan, meskipun didalam hatiku masih berantakan dan tidak karuan.
“Benarkah?” tanya Rere sembari mempersembahkan senyum yang paling lebar yang pernah aku lihat.
Aku mengangguk. “Ayo pulang! Kalo mau, kau boleh boncengan disepedaku kita pulang sama-sama.”
Akhirnya, aku mengajak Rere pulang. Rere itu temanku sejak kecil, kami bertetangga, tapi beda sekolah. Dulu ketika SD aku masih satu sekolah dengannya. Dia anak yang cengeng makanya anak cowok senang sekali mengganggunya. Dia menangis, dan aku yang selalu menghiburnya. Selalu seperti itu. Hanya padaku dia mengadu, dan hanya aku yang berani melawan anak cowok yang mengganggunya. Tapi, itu dahulu kala.
Setelah aku SMP aku bertemu dengan Dera. Teman sekelasku yang selalu menceritakan masalah pribadinya padaku. Anak yang selalu punya masalah besar, atau dia sendiri yang memperbesar-besarkan masalah, semuanya diceritakan padaku. Cowok yang setiap minggu menangis dihadapanku karena putus asa dengan masalah yang dia hadapi. Cowok yang menyebut dirinya dengan namanya sendiri dan kadang membuatku merasa aku sangat dibutuhkan. Lama-lama, aku menerima Dera dengan apa adanya. Semua tentang dia, semuanya dan semuanya.
Sampai. Rere turun dari sepedaku dan berhenti menceritakan hal-hal yang dari tadi tak ku dengarkan karena pikiranku dipenuhi oleh huruf R-E-R-E dan D-E-R-A. Kami berpisah didepan pintu gerbang rumahnya. Aku mengayuh sepedaku pelan, hanya perlu 10 putaran roda saja, aku sudah sampai di rumahku.
Antara cinta dan persahabatan. Sebenarnya apa yang lebih diprioritaskan? Seandainya tak ada kekasih apa aku masih bisa hidup di dunia ini? Seandainya tak ada sahabat apa aku juga masih bisa hidup di dunia ini? Tanpa mereka, aku juga masih bisa hidup, karena merekalah yang membutuhkan diriku. Memang pada kenyatannya seperti itu.
Satu hari terlewati dan hari ini aku melihat hal yang tak perlu dicampur tangankan lagi. Sepasang kekasih yang menangis, Dera dan Rere. Mereka berpelukan dan menangis. Pemandangan yang membuat hatiku pilu. Tapi apa urusanku? Apa mereka menganis gara-gara aku? Aku rasa memang hobi mereka menangis.
Dua hari terlewati dan hari ini aku bertemu Rere di cafe yang sama. Aku memesan jus apel. Rere juga memesan jus yang sama. Wajahnya berseri-seri. Dia ceria sekali, lebih ceria dari yang biasanya.
“Kenapa?” tanyaku memulai percakapan.
Rere menggeleng lalu senyum-senyum. Aku tak mengerti, tapi aku biarkan saja. Aku juga tak begitu tertarik mendengarkan jawaban dari pertanyaanku tadi. Mungkin saja dia habis berkencan dengan kekasihnya atau mendapatkan hadiah dari kekasihnya. Bukan urusanku.
Seperti biasa Rere bercerita banyak. Dia memang cewek yang banyak omong. Mau tak mau aku harus mendengarkannya. Tapi anehnya sedetikpun dia tidak bercerita tentang Dera.
Tiga hari terlewati dan hari ini aku bertemu Dera di dalam kelas, termenung sendiri dibangkunya. Seperti ada masalah yang manyangkut di ubun-ubunnya.
“Kenapa?” tanyaku memulai percakapan.
Dera menggeleng.
“Kau kenapa?” tanyaku sekali lagi.
“Putus!!! Dera diputusin sama Rere. Padahal sebelumnya kami tak ada masalah apa-apa”
Aku kaget setengah pingsan. “Apa?” aku memastikannya.
“Dera diputusin sama Rere...”
“Kenapa diputusin?” tanyaku
Dera mengangkat bahunya tanda tak mendapat jawaban dari Rere.
Aku tertunduk lemas dan menatap Dera sendu. “Jangan menangis, semuanya bisa diperbaiki”
Dera menggeleng lagi. “Dera gak akan nangis lagi. Kata Rere, Mia gak suka cowok yang cengeng”
Otakku berputar-putar. Apa Rere berkorban demi aku? Aku menghela nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Aku menatap Dera dengan tajam, satu hal lagi yang ingin aku ucapkan pada Dera. “Aku juga gak suka sama cowok yang menyebut dirinya dengan nama.”
“Aku baru sadar. Aku suka Mia, bukan Rere,” kata Dera tegas.
Dera mengerti apa maksudku. Tapi aku sudah tak berharap lagi untuk mendapatkan cinta, kasih sayang, perhatian atau apalah itu, dari orang yang bernama Dera. Satu-satunya yang aku inginkan adalah secepatnya bertemu Rere dan bilang padanya tak perlu melakukan hal seperti ini.
Sepulang sekolah aku kerumah Rere tapi tak bisa bertemu dengannya. Rere pergi keluar kota. Tinggal bersama ayahnya yang tugas diluar kota. Kenapa meninggalkan aku dengan masalah seperti ini? Apa sahabat bisa berkorban apa saja demi sahabatnya? Rere, seharusnya tidak seperti ini. Sudah aku jelaskan aku tidak suka cowok yang menyebut dirinya dengan namanya dan aku tidak suka cowok yang cengeng seperti Dera. Tapi kau merubahnya demi aku dan untuk aku.
Hari ini, setelah sekian lamanya aku tak menangis, aku menangis sejadi-jadinya. Manusia memang harus menangis. Termasuk aku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar