Aku capek
sekali, naik sepeda di hari sepanas ini, di bawah matahari yang lagi
narsis-narsisnya di atas sana .
“Panaaas!!!” keluhku berkali-kali, tapi sayang tak ada yang peduli. Keringat
dari kepala sampai telapak kakiku keluar deras. Lama-lama aku bisa dehidrasi.
Aku haus, ingin jajan, beli minuman kaleng atau jus di toko-toko yang sedang
aku lewati. Aku melirik isi kantongku, cukup!
Aku berhenti
di depan sebuah cafe kecil. Sudah lama tidak minum jus apel dan mencicipi kue-kue
cantiknya. Ketika aku menjongkrak sepedaku, tiba-tiba aku mendengar suara yang
tidak asing lagi.
“Miaaa...Miaaa...Miaaa...”
teriak Rere memanggil namaku. Seorang gadis seumuran denganku itu seperti
dikejar gajah berlari kearahku. Tidak jarang dia menabrak orang yang berjalan
di depannya lalu minta maaf, berlari lagi, menabrak orang lalu minta maaf lagi,
demikian seterusnya. Aku heran menatapnya, berdiri di depan pintu cafe tanpa
ekspresi apapun.
Tak lama, Rere
sudah sampai di depanku dengan nafas yang tidak beraturan. Dia berusaha
menenangkan nafasnya lalu tersenyum padaku. Aku tak membalas senyumnya karena
dia langsung memelukku. Aku gerah jadi aku tak suka dipeluk.
“Basah...”
kata Rere.
“Itu
keringatku, tenang saja tidak bau kok,” sahutku.
“Mia pake deodorankan?”
Tanpa
menghiraukan pertanyaan ga penting itu, aku langsung masuk ke dalam cafe. Rere
mengikutiku dari belakang. Aku memesan segelas jus apel. Rere juga memesan jus
yang sama.
Rere
memandangku lalu senyum-senyum sendiri. Dia menatapku terus menerus, aku merasa
terganggu. Aku memalingkan pandanganku, melihat poster-poster yang terpajang di
dinding cafe. Lima menit berlalu, tak sepatah katapun terucap dari mulutku.
Selama itu Rere juga tak bicara, dia hanya senyum-senyum ga jelas. Sampai
akhirnya pesananku datang.
“Mia...” Rere
memancingku untuk bicara.
Aku diam saja,
sibuk dengan jusku yang ingin segera kuhabiskan lalu pergi dari cafe ini.
“Mia marah
ya?” tanya Rere.
Aku terpaksa
berbohong. “Tidak!” jawabku singkat.
“Maafkan aku
Mia...”
“Maaf?” tanyaku
balik.
Mia memasang
wajah memelasnya padaku, “Ya...maafkan aku...”
Aku benci
sikap Rere yang bermanja-manja denganku. “Tak ada yang perlu dimaafkan, karena
tak ada yang salah dan harus dipermasalahkan lagi. Aku capek!!!” jelasku
setelah segelas jus di hadapanku telah habis sampai tetes terakhir. Aku mau
pergi.
Rere dengan
cepat memegang tanganku, matanya sudah basah. Dia menangis. Apa semua ini
gara-gara aku? Seandainya saja aku pembunuh bayaran, aku akan segera pergi dan
tidak memperdulikan lagi gadis yang menangis karena menyesali perbuatannya.
Tapi aku sungguh tak tega. Aku duduk lagi, mengeluarkan tisu dari tasku dan
memberikannya pada Rere. Aku menghela nafas, aku malu pada orang lain yang
memandangi kami, aku pasti tertuduh menjadi orang yang menyakiti, padahal aku
yang disakiti.
“Dera sudah
cerita padaku. Dia memilihmu dari hatinya yang paling dalam. Tak usah
diragukan. Aku tau dia orang yang seperti apa,” kataku dengan tenang.
Rere mengusap
air matanya dan mendengarkanku dengan baik. “Tapi bagaimana dengan Mia?”
“Aku? Jangan
khawatir! Aku gak akan mengganggu kalian. Tugasku di sekolah sangat banyak, PR
ku juga menumpuk, aku tak akan sempat untuk mempermasalahkan hal semacam itu”
“Lebih baik
aku putus saja. Aku ga enak sama Mia...”
“Jangan!!! Nanti
aku yang gak enak padamu”
“Tidak! Lebih
baik aku putus saja, aku gak mau Mia terus-terusan bersikap dingin padaku. Aku
tau semua ini karena salahku. Aku jadian sama Dera, padahal aku tau dari dulu
Mia suka sama Dera”
“Cukup!” Aku
menghela nafas lagi. “Tenang saja. Aku ga tertarik sama cowok yang menyebut
dirinya dengan namanya sendiri dan cengeng seperti Dera. Sekarang aku juga
sudah tidak ada rasa apapun pada Dera.”
“Tapi kenapa
Mia tadi mendiamkan aku, Mia marahkan?”
“Gak, aku cuma
capek,” jawabku dengan senyum kecil di ujung bibirku. Mungkin itu bisa
menenangkan keadaan, meskipun didalam hatiku masih berantakan dan tidak karuan.
“Benarkah?”
tanya Rere sembari mempersembahkan senyum yang paling lebar yang pernah aku
lihat.
Aku
mengangguk. “Ayo pulang! Kalo mau, kau boleh boncengan disepedaku kita pulang
sama-sama.”
Akhirnya, aku
mengajak Rere pulang. Rere itu temanku sejak kecil, kami bertetangga, tapi beda
sekolah. Dulu ketika SD aku masih satu sekolah dengannya. Dia anak yang cengeng
makanya anak cowok senang sekali mengganggunya. Dia menangis, dan aku yang
selalu menghiburnya. Selalu seperti itu. Hanya padaku dia mengadu, dan hanya
aku yang berani melawan anak cowok yang mengganggunya. Tapi, itu dahulu kala.
Setelah aku
SMP aku bertemu dengan Dera. Teman sekelasku yang selalu menceritakan masalah
pribadinya padaku. Anak yang selalu punya masalah besar, atau dia sendiri yang
memperbesar-besarkan masalah, semuanya diceritakan padaku. Cowok yang setiap
minggu menangis dihadapanku karena putus asa dengan masalah yang dia hadapi.
Cowok yang menyebut dirinya dengan namanya sendiri dan kadang membuatku merasa
aku sangat dibutuhkan. Lama-lama, aku menerima Dera dengan apa adanya. Semua
tentang dia, semuanya dan semuanya.
Sampai. Rere
turun dari sepedaku dan berhenti menceritakan hal-hal yang dari tadi tak ku
dengarkan karena pikiranku dipenuhi oleh huruf R-E-R-E dan D-E-R-A. Kami
berpisah didepan pintu gerbang rumahnya. Aku mengayuh sepedaku pelan, hanya
perlu 10 putaran roda saja, aku sudah sampai di rumahku.
Antara cinta
dan persahabatan. Sebenarnya apa yang lebih diprioritaskan? Seandainya tak ada
kekasih apa aku masih bisa hidup di dunia ini? Seandainya tak ada sahabat apa
aku juga masih bisa hidup di dunia ini? Tanpa mereka, aku juga masih bisa
hidup, karena merekalah yang membutuhkan diriku. Memang pada kenyatannya
seperti itu.
Satu hari
terlewati dan hari ini aku melihat hal yang tak perlu dicampur tangankan lagi.
Sepasang kekasih yang menangis, Dera dan Rere. Mereka berpelukan dan menangis.
Pemandangan yang membuat hatiku pilu. Tapi apa urusanku? Apa mereka menganis
gara-gara aku? Aku rasa memang hobi mereka menangis.
Dua hari
terlewati dan hari ini aku bertemu Rere di cafe yang sama. Aku memesan jus
apel. Rere juga memesan jus yang sama. Wajahnya berseri-seri. Dia ceria sekali,
lebih ceria dari yang biasanya.
“Kenapa?”
tanyaku memulai percakapan.
Rere
menggeleng lalu senyum-senyum. Aku tak mengerti, tapi aku biarkan saja. Aku
juga tak begitu tertarik mendengarkan jawaban dari pertanyaanku tadi. Mungkin
saja dia habis berkencan dengan kekasihnya atau mendapatkan hadiah dari
kekasihnya. Bukan urusanku.
Seperti biasa
Rere bercerita banyak. Dia memang cewek yang banyak omong. Mau tak mau aku
harus mendengarkannya. Tapi anehnya sedetikpun dia tidak bercerita tentang
Dera.
Tiga hari
terlewati dan hari ini aku bertemu Dera di dalam kelas, termenung sendiri
dibangkunya. Seperti ada masalah yang manyangkut di ubun-ubunnya.
“Kenapa?”
tanyaku memulai percakapan.
Dera
menggeleng.
“Kau kenapa?”
tanyaku sekali lagi.
“Putus!!! Dera
diputusin sama Rere. Padahal sebelumnya kami tak ada masalah apa-apa”
Aku kaget
setengah pingsan. “Apa?” aku memastikannya.
“Dera
diputusin sama Rere...”
“Kenapa
diputusin?” tanyaku
Dera
mengangkat bahunya tanda tak mendapat jawaban dari Rere.
Aku tertunduk
lemas dan menatap Dera sendu. “Jangan menangis, semuanya bisa diperbaiki”
Dera
menggeleng lagi. “Dera gak akan nangis lagi. Kata Rere, Mia gak suka cowok yang
cengeng”
Otakku
berputar-putar. Apa Rere berkorban demi aku? Aku menghela nafas dalam-dalam,
mencoba menenangkan diriku dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Aku
menatap Dera dengan tajam, satu hal lagi yang ingin aku ucapkan pada Dera. “Aku
juga gak suka sama cowok yang menyebut dirinya dengan nama.”
“Aku baru
sadar. Aku suka Mia, bukan Rere,” kata Dera tegas.
Dera mengerti
apa maksudku. Tapi aku sudah tak berharap lagi untuk mendapatkan cinta, kasih
sayang, perhatian atau apalah itu, dari orang yang bernama Dera. Satu-satunya
yang aku inginkan adalah secepatnya bertemu Rere dan bilang padanya tak perlu
melakukan hal seperti ini.
Sepulang
sekolah aku kerumah Rere tapi tak bisa bertemu dengannya. Rere pergi keluar
kota. Tinggal bersama ayahnya yang tugas diluar kota. Kenapa meninggalkan aku
dengan masalah seperti ini? Apa sahabat bisa berkorban apa saja demi
sahabatnya? Rere, seharusnya tidak seperti ini. Sudah aku jelaskan aku tidak
suka cowok yang menyebut dirinya dengan namanya dan aku tidak suka cowok yang
cengeng seperti Dera. Tapi kau merubahnya demi aku dan untuk aku.
Hari ini, setelah sekian lamanya aku tak menangis, aku menangis
sejadi-jadinya. Manusia memang harus menangis. Termasuk aku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar