CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 20 April 2013

Olegku Tambulilinganmu

Bayang-bayang masa lalu meniupku terbang. Membuatku melangkah ringan ketika menyusuri jembatan gantung terbuat dari kayu yang menyimpan kenangan tentangnya. Di sinilah, di desaku, tempat kami merasa bahwa setiap hari tanpa salah satu rasanya kurang. Karena inginku, selalu bersamanya, tidak lebih tidak kurang. Dan aku tau, inginnya pasti sama.

Oleg Tambulilingan (sumber)
Jauh dulu, dimulai ketika tinggiku masih sekitar 90 cm dan tingginya tidak lebih dari aku. Saat itulah aku melihatnya berjalan di jembatan ini dengan tangan kanan bergandengan dengan ibunya dan tangan kiri memegang layang-layang kertas. Pakaian kami saat itu sama, seragam sekolah dasar. Dia masih tampak polos dan manis sekali. Aku juga bergandengan tangan dengan ibuku. Hari itu adalah hari pertama penerimaan siswa baru.
“Gus Raka kok bawa layang-layang?” tanya ibuku ketika kami saling berpapasan waktu itu.
Ibu Gus Raka tersenyum, kemudian menjawab, “Ya nih Bu Ratih, Gusnya ga mau sekolah kalo ga bawa layangan.” Kemudian Ibu Gus Raka mengambil layangannya dan melepaskan gandengan tangannya.
Ibuku juga melepaskan tanganku dan menggandengkannya pada tangan Gus Raka. “Nanti Gus Raka main sama Ratih ya, tidak boleh berantem…” pesan ibuku.
Gus Raka diam saja. Aku juga demikian. Ketika pertama kali bertemu, kami sudah bergandengan tangan dan ibu kamilah yang saling mengutarakan perasaan kami, meskipun mereka tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kami utarakan.
Hampir setiap hari menyusuri jembatan ini, dengan riang, dengan mulut penuh cerita. Sehari bertengkar, besoknya sudah baikan. Bertengkar lagi, kemudian tertawa bersama lagi. Kenangan itu membuatku menyimpulkan senyum tulus, namun tetap saja, susah rasanya menahan sesak di dada ini.
“Gus senang sekali dengerin musik gambelan, rasanya tubuh ini jadi otomatis bergerak-gerak seperti ini,” kata Gus Raka sambil menggerak-gerakkan tangan dan jemarinya siang itu ketika kami pulang sekolah.
“HAHAHA…Gus Raka lucu!” Aku tertawa melihatnya seperti itu. “Ibu guru mengajarkan kita mejangeran untuk pentas kebudayaan kan? Ratih juga suka menjangeran…jangi janger…srengsengi srengseng janger…srengsengi srengseng janganger…” kataku sambil ikut juga menggerakkan jari jemariku yang masih kecil.
“Ah, Ratih, kamu tadi bikin Gus malu aja!” Gus Raka mendadak ketus padaku.
“Maaf nae Gus…” Aku cemberut. Tapi tak apa, karena apa yang aku mau akhirnya aku dapatkan. Mejangeran dengan Raka sebagai kecaknya. Sampai nangis-nangis aku minta dipasangkan sama dia. Untung ibu guru menuruti mauku. “Habis Ratih gak mau sama Ngurah, tau kan dia anaknya nakal, suka ngejek-ngejek, mukul orang sembarangan, nyubit orang sembarangan.”
“Ah alasan! Gus juga kayak gitu…”
“Gak, Gus Raka kan anaknya manis”
“Alasan aja!!! Huuu, dasar anak ompong!!!”
“Iiiih Raka nyebelin!!! Padahal udah Ratih puji. Awas aja nanti giginya ompong juga!!!”
“Mana ada, ini liat gigiku…” Raka nyengir memperlihatkan giginya. “Ga ada yang ompong kan, hahahahaaa. Anak OMPONG!!!” katanya kemudian mengejekku lalu berlari menyusuri jembatan kayu.
“Puiiiiikkk!!!” seruku sembari mengejarnya, sampai aku dapatkan, akan aku cubiti dia.
Pentas kebudayaan masa sekolah dasar ini merupakan awal sadar hidupku untuk menari, menjadi seorang pragina. Demikian pula sama halnya dengan Gus Raka, dia juga sangat senang menari, mungkin melebihi kesadaranku.
Aku merasa sangat cantik. Kata ibuku aku cantik. Kata bapakku aku juga cantik sekali. Bunga-bunga emas mageronce menghiasi kepalaku, meski berat tapi aku senang. Sabuk prada mengitari badanku, meski sesak rasanya tapi aku senang. Dandanan seorang penari yang berkilau-kilau. Aku senyum di depan cermin, menggerakkan jari-jariku, sedikit memperagakan tari Janger yang nanti akan aku pentaskan bersama teman-teman.
“Ratih, nanti kamu jangan grogi ya. Kalo kamu salah gerakan, nanti Gus juga ikutan salah…” kata Gus Raka, beberapa menit sebelum pementasan.
Aku mengangguk. “Ya, tenang aja Gus… Kemarin Ratih dipuji sama ibu guru, karena gerakannya yang nomer satu! Jadi tidak mungkin aku grogi.”
Gus Raka memasang tampang susah diartikan. “Kamu ini besar kepala!!! Dasar anak ompong!”
Mendengarnya berkata seperti itu aku manyun saja.
“Tapi meskipun ompong…emmm…Ratih cantik juga berpakaian prada seperti itu.”
“Benarkah?”
Gus Raka tidak menyahut lagi. Tapi sungguh aku senang setengah mati.
Jangi janger
Srengsengi srengseng janger
Srengsengi srengseng janger
Seriang ento roraroti
Kelap kelap ngalap bunga
Langsing lanjar pemulune nyandat gading
Seriang nyane mejangeran
Seriang ento roraroti
Arak sidang jangi janger
Arak sidang jangi janger
Semakin meninggalkan masa, kami semakin mengikuti arus hati. Tarian yang mengalir sama di jiwa kami masing-masing kami nikmati dengan ikhlas. Ketika kami sudah menjadi teruna-teruni kami senang sekali mengikuti pementasan tari-tarian di Balai Banjar. Kami berdua belajar menari pada Odah Sri di sanggar tari Cili Mekar. Odah Sri seorang wanita lanjut usia yang masih menari dengan lemah gemulai, darah seni yang tulus mengalir disetiap tariannya, pragina hebat dan seorang guru tari yang aku nilai keras dalam menurunkan ilmu tariannya.
Sepulang sekolah kami latihan menari di sanggarnya. Dasar-dasar tari seperti agem, dasar gerak tubuh, adalah hal yang paling susah untuk dilewati. Karena untuk mendapatkan agem yang kuat tubuh harus tengkurap di lantai, kemudian diinjak-injak dan di bawah kedua ketiak diikat stagen. Kemudian untuk latihan gerakan ngelayak harus bersandar di atas meja atau tembok. Tubuh akan sangat terasa sakit setelah seharian latihan. Namun semua itu tak ada salahnya karena Odah Sri seorang guru yang mengajarkan hal yang benar. Setiap gerakan tubuh harus benar sesuai nama gerakannya. Sehingga tidak jarang Odah Sri membentuk tubuh murid-muridnya secara paksa.
 “Gus, sakit bangkiangnya Ratih puk…” Kataku sambil memegangi punggung dan pinggangku yang pegel karena kelamaan latihan agem tekek.
“HAHAHA…” Gus Raka malah menertawakan aku. “Masak udah nyerah di dasar. Gus juga nanti mau belajar tarian anak putri ah…” Gus Raka menerawang sekelilingnya, mengamati tarian Pendet dan Oleg yang ditarikan oleh anak-anak putri dan pandangannya  berhenti disebuah tarian yang memang sungguh menawan hati yang ditarikan oleh senior kami.
“Tari Oleg Tambulilingan, ingin menarikannya juga?” tanyaku mencoba menebak isi kepalanya. “Ratih sangat-sangat ingin. Tarian yang romantis!”
Gus Raka mengangguk.
“Gus pasti bisa menguasai semua jenis tarian dengan mudah. Hahahaaa…gak kayak Ratih yang kerjaannya nyakitin bangkiang aja.”
“Uduh Dewa Ratu, sombong sekali anak ini,” kataku sambil menyogok kepalanya. “Besok Ratih izin sekolah ya, Ratih mau nari ngiring beleganjur.”
“Beleganjur? Ada lomba ya?” tanya Raka.
“Ya, tiap malam di Banjar Ratih latihan dengan para penabuh supaya pas dengan tabuhnya,” jelasku. “Besok lombanya, semoga aja menang.”
“Jadi sering latihan malam-malam ya? Pantas akhir-akhir ini sering pinjam PRnya Gus. Yang jadi tukang kendangnya itu Pramana kan?”
“Pramana? Kok Gus tau?”
“Gosipnya dia naksir kamu tau…hahaaa…”
Aku jadi curiga kalo Gus Raka tiba-tiba membicarakan hal itu. Setahuku Pramana memang senang menyapaku ketika kami sama-sama latihan. Aku menilainya anak yang baik dan ramah. Tapi sungguh aku tidak menyangka orang-orang malah menggosipkan hal seperti itu.
“Cuma gosip!!!”
“Gosip apa gosip??? Nanti juga akhirnya jadian. Ratih juga suka kan sama Rama?” Gus Raka menggodaku.
 Aku tak percaya Raka bertanya seperti itu. Apakah dia cemburu dengan keadaan yang belum jelas? Apakah keadaan yang selalu sama-sama ini yang membuatnya takut aku nanti sama orang lain? Setidaknya kalau benar dia cemburu aku akan senang setengah mati.
Aku senyum-senyum menjawab pertanyaannya. “Tentu saja, dia anak baik, pandai megambel. Sungguh orang yang menawan…” jawabku mengetes. Perlahan aku perhatikan ekspresi wajahnya. Sedikit berubah. Namun itu membuatku lega. Bukankah itu artinya dia benar-benar cemburu pada Pramana?
“Kamu memang cocok dengan Pramana. Jadian saja sana...”
Aku menggeleng pelan.
“Kenapa?”
Aku diam saja. Tidak mau bilang sekarang. Tentu saja aku tidak mau dengan Pramana. Gus Raka ini gimana sih…gumanku dalam hati.
Di alun-alun taman kota. Beleganjur membuka dunia, seperti itu rasanya. Tarianku hidup seperti dinafasi gamelan itu. Para penonton sangat antusias menonton pementasan ini. Tak sedikit juga para wisatawan asing menyilaukan mata demi mengambil beberapa foto penuh nilai seni dari kami. Jujur saja, ada rasa bangga ketika banyak pasang mata itu melihat gerakan-gerakan tubuh ini. Lengkap dengan kombinasi tarian para penabuh beleganjur. Kami semua berusaha mementaskan yang terbaik.
Tapi seingatku ini semua hanya berlangsung beberapa menit saja.
Aku buka perlahan mataku. Aku memandang pelan ke sekeliling. Hanya ada Pramana yang aku kenal. Kenapa bisa ada di rumah sakit? Mana pakaian tariku? Kenapa jadinya pakai baju pasien seperti ini?
“Tarianmu hebat Ratih,” kata Pramana pelan lalu meraih tanganku.
“Hebat?” tanyaku padanya.
“Kau yang paling hebat, aku selalu kagum melihatmu menari. Tapi sayangnya kamu tiba-tiba jatuh pingsan di pertengahan tabuh.”
 “Apa aku mengacaukan semuanya? Ini semua salahku,” kataku penuh rasa bersalah.
Pramana malah tersenyum, tangannya mengelus kepalaku. “Tidak apa-apa, yang penting sekarang kamu istirahat saja,” dia berusaha menenangkanku.
Yang aku rasakan sekarang kepalaku rasanya berat sekali. Seluruh badanku lemas. Apa mungkin gara-gara aku terlalu memforsir tenagaku untuk latihan menari? Tumben aku sakit begini. Beberapa saat kemudian ibu dan bapakku datang. Tampaknya mereka tergesa-gesa datang ke rumah sakit, hingga ibuku pun masih menggunakan celemek kotak-kotaknya yang sering ia gunakan saat memasak.
“Gimana sekarang rasanya gek?” tanya ibuku menatapku penuh rasa kecemasan.
“Rasanya masih lemas bu,” sahutku seadanya.
Ibuku memandangiku dan menepuk-nepuk pipiku pelan. Aku berusaha memejamkan mataku untuk menyamankan keadaan. Uduh Dewa Ratu aku ingin cepat sembuh.
Sudah satu minggu aku terbaring lemas di rumah sakit. Akhirnya aku tahu penyakitku seperti apa. Aku terkena anemia berat yang namanya Thalasemia, dimana sumsum tulang belakangku mengalami penurunan dalam memproduksi sel darah merah. Aku juga sadar penyakitku ini bukanlah penyakit ringan.
Hampir setiap hari Pramana datang menjenguk. Sepertinya aku mulai merasakan kebaikannya yang menyentuh hati. Dia membuatku tidak merasa kesepian. Tapi tetap saja ada yang kurang. Seseorang yang paling aku rindukan, Gus Raka. Kenapa dia tidak datang melihatku? Apa dia sudah tidak peduli lagi padaku?
Kondisiku membaik. Aku diperbolehkan melakukan aktivitas seperti biasa. Termasuk menari. Tubuhku rasanya sudah lama membeku dan kelu, ingin menggerakannya lagi. Selain itu aku juga ingin bertemu Gus Raka. Bagaimana kabarnya selama aku tak melihatnya. Sungguh aku ingin tahu.
Itu dia sosok yang aku rindukan. Menari tari Oleg Tambulilingan dengan pasangan tarinya. Andai itu aku yang bersamanya. Tarianya indah. Padahal sejak dulu aku memimpikan untuk bisa menarikan tarian Oleg Tambulilingan bersamanya seperti sepasang bunga dan tambulilingan yang sedang memadu kasih. Tapi aku hanya duduk terdiam di balai memandanginya dari kejauhan.
“Gus!” panggilku. Tetap sama, aku ingin tetap sama seperti hari-hari sebelumnya. Gus Raka melihatku dan segera menghampiriku.
“Sudah sembuh?” tanyanya kemudian. Peluhnya menetes, dia tampak lelah setelah menari.
Aku mengangguk.
Gus Raka tersenyum. Uduh Dewa Ratu, ternyata dia tetap sama seperti biasanya. Aku senang.
“Maaf ya aku tidak pernah datang menjenguk.”
“Kenapa?” tanyaku cepat. “Sudah tidak peduli lagi ya sama Ratih?”
“Kan sudah ada Pramana…”
Apa??? Itu alasannya? Kenapa pemikirannya sungguh sempit? Dia gak tahu kalo dia orang yang benar-benar aku rindukan selama aku sakit. “Jahat sekali!!!” bentakku.
Gus Raka diam saja memandangiku. Rasanya dia akan memulai hal yang serius denganku. Aku tahu dia. Kalau seperti ini seakan aku merasa sangat mengenalnya.
“Ratih…maukah menari Oleg Tambulilingan denganku dipementasan kebudayaan akhir bulan ini?”
“Mau.”
“Bagus. Anak manis” katanya kemudian lalu menepuk pipiku pelan dan kembali pergi latihan.
Hey! Apa yang terjadi barusan? Bukannya tadi aku bertanya-tanya mengenai penjelasannya yang tidak masuk akal mengenai mengapa dia tidak menjengukku. Tapi kenapa sekarang mengajakku menari Oleg Tambulilingan? Benarkah ini? Apa aku dilamar?
Pramana sekarang menjadi dekat denganku. Andai aku boleh menebaknya, mungkin sudah lebih dari 75% perasaannya terhadapku. Tapi aku tidak mau seperti ini terus, sedangkan yang ada dihatiku cuma Gus Raka seorang.
Hingga suatu hari akhirnya Pramana mengajakku untuk pacaran. Aku menolaknya. Sungguh aku tidak bisa membalas perasaan itu. Semenjak itu hubungan kami menjadi tidak dekat lagi. Aku sadar Pramana perlu waktu untuk menstabilkan hatinya. Aku tahu itu tidaklah mudah. Maafkan aku Pramana.
Tidak terlepas dari semua itu, kondisiku rasanya kembali melemah. Setiap sore aku latihan dengan Gus Raka. Tidak apa, capeku terbayar oleh rasa yang meluap-luap ketika menarikan tarian ini bersama orang yang aku inginkan.
“Ratih, kamu tidak apa-apa?” tanya Gus Raka menghentikan tariannya ketika aku hampir jatuh lemas.
Aku menggeleng.
Dia tampak sangat cemas. Tangannya mengusap peluh di wajahku yang mulai pucat pasi. Dia menuntunku untuk duduk beristirahat dan memberiku minum.
“Penyakitnya Ratih ini susah sekali disembuhkan,” kataku padanya. “Obatnya mahal. Kadang Ratih jadi sadar dan merasa kasihan sama ibu dan bapak. Untuk sembuh harus diganti dengan sumsum tulang belakang yang 100% identik dengan sumsum tulang belakangnya Ratih...” Tak kuasa ternyata air mataku sudah jatuh beberapa tetes melewati pipiku. “Kalo begini terus…hidupnya Ratih Cuma bisa nyusahin orang tua aja.”
“Tenang…nanti pake sumsum tulang belakangnya Gus aja.”
“Iiiiihhh…mana ye segampang itu. Emangnya bubur sumsum gampang didapetin…”
“Bubur sumsum kan banyak di jual di pasar” kata Gus Raka mencoba menghiburku. Gus Raka diam menatapku lekat-lekat. “Sudah…jangan berfikiran negatif. Pasti semua akan baik-baik saja.” Dia tersenyum lalu menepuk pipiku ringan. Aku suka saat dia melakukan itu. Lalu mengusap kepalaku. “Apa masih sanggup untuk terus latihan sampai akhir bulan ini?”
Aku mengangguk.
Gus Raka menggeleng. “Istirahat saja.”
Aku menggeleng.
“Lebih baik istirahat saja dirumah. Tarianmu juga sudah cukup bagus. Nanti menari saat pementasan saja. Oke?”
Aku menggangguk.
“Kita pasti bisa menari bersama.” Katanya kemudian.
Malam ini kondisiku lemas sekali. Bapak dan ibuku juga sudah lelah untuk membujukku ke rumah sakit dan aku tetap bersikukuh tidak mau. Aku hanya ingin diam di rumah dan besok pagi ke balai pementasan untuk menari bersama Gus Raka. Cukup!
Bapak menyuntikkan Desferal ke tanganku untuk menghilangkan zat besi berlebih. Sakit sekali! Jujur aku takut akan penyakitku ini. Tapi aku akan berusaha bertahan untuk pementasan ini saja. Demi impianku menari Oleg Tambulilingan. Demi menari bersama Gus Raka. Aku akan bertahan demi semua itu.
Surya memberiku nafasnya. Pagi ini pagi terindah yang pernah aku syukuri. Uduh Dewa Ratu, terimakasih masih memberikan aku kehidupan untuk hari ini. Aku yakin aku bisa menari hari ini.
Para tatarias sudah sibuk dari dini hari mempersiapkan riasan pragina untuk menari. Gus Raka juga sudah siap dengan riasannya, menggunakan kancut sepanjang 5 meter. Keren sekali! Jujur saja, dia tetap menawan hati dan tak ada bosannya aku melihat wajahnya meskipun hampir setiap hari aku melihatnya.
Para tatarias membantuku mengenakan kamen, sabuk prada, gelang lengan, gelang tangan, lelamak dan gelungan agung yang indah. Rasanya setiap menggunakan pakaian tari aku jadi merasa sangat cantik. Berkilau-kilau dan mempesona.
Gong mulai ditabuhkan. Di deretan tukang gambel itu, aku melihat Pramana. Dia senyum ketika berhasil mencuri pandanganku. Aku harap dia bisa menerima keputusanku. Menerima hidupku dan tidak sakit hati akan hal itu. Aku yakin dia bisa.
Gus Raka menggenggam tanganku erat. “Sebenarnya Gus gak mau menari dengan orang lain selain Ratih.”
Benarkah itu kata-kata yang dikeluarkan oleh Gus Raka dan bukan kata-kataku? Benarkah kali ini terjawab sudah semua perasaanku yang selalu memuncak padanya?
“Ratih senang sekali menari dengan Gus Raka.”
“Menarilah dan jadilah yang paling indah…”
Dia melepaskan tanganku ketika tepat saat giliranku menari. Mengalir bersama gambelan, meliukkan jiwa yang mulai menyatu dengan tarian. Bagaikan sekuntum bunga yang paling cantik yang tumbuh di taman sari. Menanti kehadiran Gus Raka yang keluar menjadi Tambulilingannya. Menuntaskan gerak tulak angsul dengan sempurna. Kami berdua menyatu dalam aliran seni ini. Betapa bahagianya aku. Melebihi apapun.
Tapi.
“Gus Raka!!!” jeritku.
Tabuh berhenti. Gus Raka jatuh di depanku. Para penontoh riuh. Semua tak aku hiraukan lagi. Dia kenapa? Uduh Dewa Ratu, kenapa bisa seperti ini. Aku langsung memangkunya di atas kamen pradaku. Aku gerak-gerakkan tubuhnya. Kenapa tidak bergerak? Perasaanku kelam. Mendadak tanganku dingin. Tak kuasa aku menahan tangisku. “ Gus Rakaaa!!! Bangun…” teriakku, tapi tetap saja Gus Raka tidak menyahut. Rasanya mau gila saja. Para kelihan mengambil sigap tubuh Gus Raka yang lunglai. Aku lemas terduduk melepas gelunganku. Mengacak-acak rambutku. Berteriak-teriak seperti orang tidak sadarkan diri. Sungguh tolong sadarkan aku, ini sebuah mimpi atau kenyataan.
Bolehkah untuk tidak selamanya?
Penyakitku sembuh karena berhasil melakukan transpalasi sumsum tulang belakang. Gus Raka telah menitip pesan pada keluarganya untuk memberikan sumsum tulang belakangnya untukku. Kata mereka Gus Raka memang anak melik yang bisa meninggal tiba-tiba. Tapi bagaimana dengan aku? Apa aku bisa hidup tanpa dia? Bukankah tarian Oleg Tambulilingan itu ditarikan oleh sepasang teruna-teruni? Aku depresi berat selama 3 bulan.
Hatiku mulai luluh dan tersadar. Untuknya akan aku abdikan diriku dalam seni. Dengan tubuh ini, aku masih bisa menari untuknya.  Dengan tubuhnya yang juga kini melekat dalam tubuhku, aku akan menari.  
Udara senja di desaku ini kembali memberiku kesegaran hidup. Di ujung jembatan gantung ini aku berlari menikmati puing-puing hatiku yang masih aku simpan rapi. Aku rindu ibu dan bapakku. Setelah kepulanganku dari misi kesenian ke Eropa aku kembali berniat menjadi guru tari di sanggar Cili Mekar menggantikan Odah Sri yang kini makin renta karena usia. Aku akan memulainya lagi di sini.
Gus Raka…Ratih pulang. Apa kita bisa menari Oleg Tambulilingan lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar