Bayang-bayang masa
lalu meniupku terbang. Membuatku melangkah ringan ketika menyusuri jembatan
gantung terbuat dari kayu yang menyimpan kenangan tentangnya. Di sinilah, di
desaku, tempat kami merasa bahwa setiap hari tanpa salah satu rasanya kurang.
Karena inginku, selalu bersamanya, tidak lebih tidak kurang. Dan aku tau,
inginnya pasti sama.
![]() |
Oleg Tambulilingan (sumber) |
Jauh dulu, dimulai
ketika tinggiku masih sekitar 90 cm dan tingginya tidak lebih dari aku. Saat
itulah aku melihatnya berjalan di jembatan ini dengan tangan kanan bergandengan
dengan ibunya dan tangan kiri memegang layang-layang kertas. Pakaian kami saat
itu sama, seragam sekolah dasar. Dia masih tampak polos dan manis sekali. Aku
juga bergandengan tangan dengan ibuku. Hari itu adalah hari pertama penerimaan
siswa baru.
“Gus Raka kok bawa
layang-layang?” tanya ibuku ketika kami saling berpapasan waktu itu.
Ibu Gus Raka
tersenyum, kemudian menjawab, “Ya nih Bu Ratih, Gusnya ga mau sekolah kalo ga
bawa layangan.” Kemudian Ibu Gus Raka mengambil layangannya dan melepaskan
gandengan tangannya.
Ibuku juga
melepaskan tanganku dan menggandengkannya pada tangan Gus Raka. “Nanti Gus Raka
main sama Ratih ya, tidak boleh berantem…” pesan ibuku.
Gus Raka diam
saja. Aku juga demikian. Ketika pertama kali bertemu, kami sudah bergandengan
tangan dan ibu kamilah yang saling mengutarakan perasaan kami, meskipun mereka
tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kami utarakan.
Hampir setiap hari
menyusuri jembatan ini, dengan riang, dengan mulut penuh cerita. Sehari
bertengkar, besoknya sudah baikan. Bertengkar lagi, kemudian tertawa bersama
lagi. Kenangan itu membuatku menyimpulkan senyum tulus, namun tetap saja, susah
rasanya menahan sesak di dada ini.
“Gus senang sekali
dengerin musik gambelan, rasanya tubuh ini jadi otomatis bergerak-gerak seperti
ini,” kata Gus Raka sambil menggerak-gerakkan tangan dan jemarinya siang itu
ketika kami pulang sekolah.
“HAHAHA…Gus Raka
lucu!” Aku tertawa melihatnya seperti itu. “Ibu guru mengajarkan kita
mejangeran untuk pentas kebudayaan kan? Ratih juga suka menjangeran…jangi
janger…srengsengi srengseng janger…srengsengi srengseng janganger…” kataku
sambil ikut juga menggerakkan jari jemariku yang masih kecil.
“Ah, Ratih, kamu
tadi bikin Gus malu aja!” Gus Raka mendadak ketus padaku.
“Maaf nae Gus…” Aku
cemberut. Tapi tak apa, karena apa yang aku mau akhirnya aku dapatkan.
Mejangeran dengan Raka sebagai kecaknya. Sampai nangis-nangis aku minta
dipasangkan sama dia. Untung ibu guru menuruti mauku. “Habis Ratih gak mau sama
Ngurah, tau kan dia anaknya nakal, suka ngejek-ngejek, mukul orang sembarangan,
nyubit orang sembarangan.”
“Ah alasan! Gus
juga kayak gitu…”
“Gak, Gus Raka kan
anaknya manis”
“Alasan aja!!! Huuu,
dasar anak ompong!!!”
“Iiiih Raka
nyebelin!!! Padahal udah Ratih puji. Awas aja nanti giginya ompong juga!!!”
“Mana ada, ini
liat gigiku…” Raka nyengir memperlihatkan giginya. “Ga ada yang ompong kan,
hahahahaaa. Anak OMPONG!!!” katanya kemudian mengejekku lalu berlari menyusuri
jembatan kayu.
“Puiiiiikkk!!!”
seruku sembari mengejarnya, sampai aku dapatkan, akan aku cubiti dia.
Pentas kebudayaan
masa sekolah dasar ini merupakan awal sadar hidupku untuk menari, menjadi
seorang pragina. Demikian pula sama halnya dengan Gus Raka, dia juga sangat
senang menari, mungkin melebihi kesadaranku.
Aku merasa sangat
cantik. Kata ibuku aku cantik. Kata bapakku aku juga cantik sekali. Bunga-bunga
emas mageronce menghiasi kepalaku, meski berat tapi aku senang. Sabuk prada
mengitari badanku, meski sesak rasanya tapi aku senang. Dandanan seorang penari
yang berkilau-kilau. Aku senyum di depan cermin, menggerakkan jari-jariku,
sedikit memperagakan tari Janger yang nanti akan aku pentaskan bersama
teman-teman.
“Ratih, nanti kamu
jangan grogi ya. Kalo kamu salah gerakan, nanti Gus juga ikutan salah…” kata
Gus Raka, beberapa menit sebelum pementasan.
Aku mengangguk.
“Ya, tenang aja Gus… Kemarin Ratih dipuji sama ibu guru, karena gerakannya yang
nomer satu! Jadi tidak mungkin aku grogi.”
Gus Raka memasang
tampang susah diartikan. “Kamu ini besar kepala!!! Dasar anak ompong!”
Mendengarnya
berkata seperti itu aku manyun saja.
“Tapi meskipun
ompong…emmm…Ratih cantik juga berpakaian prada seperti itu.”
“Benarkah?”
Gus Raka tidak
menyahut lagi. Tapi sungguh aku senang setengah mati.
Jangi janger
Srengsengi srengseng janger
Srengsengi srengseng janger
Seriang ento roraroti
Kelap kelap ngalap bunga
Langsing lanjar pemulune nyandat gading
Seriang nyane mejangeran
Seriang ento roraroti
Arak sidang jangi janger
Arak sidang jangi janger
Semakin
meninggalkan masa, kami semakin mengikuti arus hati. Tarian yang mengalir sama
di jiwa kami masing-masing kami nikmati dengan ikhlas. Ketika kami sudah
menjadi teruna-teruni kami senang sekali mengikuti pementasan tari-tarian di
Balai Banjar. Kami berdua belajar menari pada Odah Sri di sanggar tari Cili
Mekar. Odah Sri seorang wanita lanjut usia yang masih menari dengan lemah
gemulai, darah seni yang tulus mengalir disetiap tariannya, pragina hebat dan
seorang guru tari yang aku nilai keras dalam menurunkan ilmu tariannya.
Sepulang sekolah
kami latihan menari di sanggarnya. Dasar-dasar tari seperti agem, dasar gerak
tubuh, adalah hal yang paling susah untuk dilewati. Karena untuk mendapatkan agem
yang kuat tubuh harus tengkurap di lantai, kemudian diinjak-injak dan di bawah
kedua ketiak diikat stagen. Kemudian untuk latihan gerakan ngelayak harus
bersandar di atas meja atau tembok. Tubuh akan sangat terasa sakit setelah
seharian latihan. Namun semua itu tak ada salahnya karena Odah Sri seorang guru
yang mengajarkan hal yang benar. Setiap gerakan tubuh harus benar sesuai nama
gerakannya. Sehingga tidak jarang Odah Sri membentuk tubuh murid-muridnya
secara paksa.
“Gus, sakit bangkiangnya Ratih puk…” Kataku
sambil memegangi punggung dan pinggangku yang pegel karena kelamaan latihan agem
tekek.
“HAHAHA…” Gus Raka
malah menertawakan aku. “Masak udah nyerah di dasar. Gus juga nanti mau belajar
tarian anak putri ah…” Gus Raka menerawang sekelilingnya, mengamati tarian
Pendet dan Oleg yang ditarikan oleh anak-anak putri dan pandangannya berhenti disebuah tarian yang memang sungguh
menawan hati yang ditarikan oleh senior kami.
“Tari Oleg Tambulilingan,
ingin menarikannya juga?” tanyaku mencoba menebak isi kepalanya. “Ratih
sangat-sangat ingin. Tarian yang romantis!”
Gus Raka
mengangguk.
“Gus pasti bisa
menguasai semua jenis tarian dengan mudah. Hahahaaa…gak kayak Ratih yang
kerjaannya nyakitin bangkiang aja.”
“Uduh Dewa Ratu,
sombong sekali anak ini,” kataku sambil menyogok kepalanya. “Besok Ratih izin
sekolah ya, Ratih mau nari ngiring beleganjur.”
“Beleganjur? Ada
lomba ya?” tanya Raka.
“Ya, tiap malam di
Banjar Ratih latihan dengan para penabuh supaya pas dengan tabuhnya,” jelasku.
“Besok lombanya, semoga aja menang.”
“Jadi sering
latihan malam-malam ya? Pantas akhir-akhir ini sering pinjam PRnya Gus. Yang
jadi tukang kendangnya itu Pramana kan?”
“Pramana? Kok Gus
tau?”
“Gosipnya dia naksir
kamu tau…hahaaa…”
Aku jadi curiga
kalo Gus Raka tiba-tiba membicarakan hal itu. Setahuku Pramana memang senang
menyapaku ketika kami sama-sama latihan. Aku menilainya anak yang baik dan
ramah. Tapi sungguh aku tidak menyangka orang-orang malah menggosipkan hal
seperti itu.
“Cuma gosip!!!”
“Gosip apa
gosip??? Nanti juga akhirnya jadian. Ratih juga suka kan sama Rama?” Gus Raka
menggodaku.
Aku tak percaya Raka bertanya seperti itu.
Apakah dia cemburu dengan keadaan yang belum jelas? Apakah keadaan yang selalu
sama-sama ini yang membuatnya takut aku nanti sama orang lain? Setidaknya kalau
benar dia cemburu aku akan senang setengah mati.
Aku senyum-senyum
menjawab pertanyaannya. “Tentu saja, dia anak baik, pandai megambel. Sungguh
orang yang menawan…” jawabku mengetes. Perlahan aku perhatikan ekspresi
wajahnya. Sedikit berubah. Namun itu membuatku lega. Bukankah itu artinya dia
benar-benar cemburu pada Pramana?
“Kamu memang cocok
dengan Pramana. Jadian saja sana...”
Aku menggeleng
pelan.
“Kenapa?”
Aku diam saja. Tidak
mau bilang sekarang. Tentu saja aku tidak mau dengan Pramana. Gus Raka ini
gimana sih…gumanku dalam hati.
Di alun-alun taman
kota. Beleganjur membuka dunia, seperti itu rasanya. Tarianku hidup seperti
dinafasi gamelan itu. Para penonton sangat antusias menonton pementasan ini.
Tak sedikit juga para wisatawan asing menyilaukan mata demi mengambil beberapa
foto penuh nilai seni dari kami. Jujur saja, ada rasa bangga ketika banyak
pasang mata itu melihat gerakan-gerakan tubuh ini. Lengkap dengan kombinasi
tarian para penabuh beleganjur. Kami semua berusaha mementaskan yang terbaik.
Tapi seingatku ini
semua hanya berlangsung beberapa menit saja.
Aku buka perlahan
mataku. Aku memandang pelan ke sekeliling. Hanya ada Pramana yang aku kenal.
Kenapa bisa ada di rumah sakit? Mana pakaian tariku? Kenapa jadinya pakai baju
pasien seperti ini?
“Tarianmu hebat
Ratih,” kata Pramana pelan lalu meraih tanganku.
“Hebat?” tanyaku
padanya.
“Kau yang paling
hebat, aku selalu kagum melihatmu menari. Tapi sayangnya kamu tiba-tiba jatuh
pingsan di pertengahan tabuh.”
“Apa aku mengacaukan semuanya? Ini semua
salahku,” kataku penuh rasa bersalah.
Pramana malah
tersenyum, tangannya mengelus kepalaku. “Tidak apa-apa, yang penting sekarang
kamu istirahat saja,” dia berusaha menenangkanku.
Yang aku rasakan
sekarang kepalaku rasanya berat sekali. Seluruh badanku lemas. Apa mungkin
gara-gara aku terlalu memforsir tenagaku untuk latihan menari? Tumben aku sakit
begini. Beberapa saat kemudian ibu dan bapakku datang. Tampaknya mereka
tergesa-gesa datang ke rumah sakit, hingga ibuku pun masih menggunakan celemek
kotak-kotaknya yang sering ia gunakan saat memasak.
“Gimana sekarang
rasanya gek?” tanya ibuku menatapku penuh rasa kecemasan.
“Rasanya masih
lemas bu,” sahutku seadanya.
Ibuku memandangiku
dan menepuk-nepuk pipiku pelan. Aku berusaha memejamkan mataku untuk
menyamankan keadaan. Uduh Dewa Ratu aku ingin cepat sembuh.
Sudah satu minggu
aku terbaring lemas di rumah sakit. Akhirnya aku tahu penyakitku seperti apa.
Aku terkena anemia berat yang namanya Thalasemia, dimana sumsum tulang
belakangku mengalami penurunan dalam memproduksi sel darah merah. Aku juga
sadar penyakitku ini bukanlah penyakit ringan.
Hampir setiap hari
Pramana datang menjenguk. Sepertinya aku mulai merasakan kebaikannya yang
menyentuh hati. Dia membuatku tidak merasa kesepian. Tapi tetap saja ada yang
kurang. Seseorang yang paling aku rindukan, Gus Raka. Kenapa dia tidak datang
melihatku? Apa dia sudah tidak peduli lagi padaku?
Kondisiku membaik.
Aku diperbolehkan melakukan aktivitas seperti biasa. Termasuk menari. Tubuhku
rasanya sudah lama membeku dan kelu, ingin menggerakannya lagi. Selain itu aku
juga ingin bertemu Gus Raka. Bagaimana kabarnya selama aku tak melihatnya.
Sungguh aku ingin tahu.
Itu dia sosok yang
aku rindukan. Menari tari Oleg Tambulilingan dengan pasangan tarinya. Andai itu
aku yang bersamanya. Tarianya indah. Padahal sejak dulu aku memimpikan untuk bisa
menarikan tarian Oleg Tambulilingan bersamanya seperti sepasang bunga dan
tambulilingan yang sedang memadu kasih. Tapi aku hanya duduk terdiam di balai
memandanginya dari kejauhan.
“Gus!” panggilku.
Tetap sama, aku ingin tetap sama seperti hari-hari sebelumnya. Gus Raka
melihatku dan segera menghampiriku.
“Sudah sembuh?”
tanyanya kemudian. Peluhnya menetes, dia tampak lelah setelah menari.
Aku mengangguk.
Gus Raka
tersenyum. Uduh Dewa Ratu, ternyata dia tetap sama seperti biasanya. Aku
senang.
“Maaf ya aku tidak
pernah datang menjenguk.”
“Kenapa?” tanyaku
cepat. “Sudah tidak peduli lagi ya sama Ratih?”
“Kan sudah ada
Pramana…”
Apa??? Itu
alasannya? Kenapa pemikirannya sungguh sempit? Dia gak tahu kalo dia orang yang
benar-benar aku rindukan selama aku sakit. “Jahat sekali!!!” bentakku.
Gus Raka diam saja
memandangiku. Rasanya dia akan memulai hal yang serius denganku. Aku tahu dia. Kalau
seperti ini seakan aku merasa sangat mengenalnya.
“Ratih…maukah
menari Oleg Tambulilingan denganku dipementasan kebudayaan akhir bulan ini?”
“Mau.”
“Bagus. Anak
manis” katanya kemudian lalu menepuk pipiku pelan dan kembali pergi latihan.
Hey! Apa yang
terjadi barusan? Bukannya tadi aku bertanya-tanya mengenai penjelasannya yang
tidak masuk akal mengenai mengapa dia tidak menjengukku. Tapi kenapa sekarang
mengajakku menari Oleg Tambulilingan? Benarkah ini? Apa aku dilamar?
Pramana sekarang
menjadi dekat denganku. Andai aku boleh menebaknya, mungkin sudah lebih dari
75% perasaannya terhadapku. Tapi aku tidak mau seperti ini terus, sedangkan
yang ada dihatiku cuma Gus Raka seorang.
Hingga suatu hari
akhirnya Pramana mengajakku untuk pacaran. Aku menolaknya. Sungguh aku tidak
bisa membalas perasaan itu. Semenjak itu hubungan kami menjadi tidak dekat
lagi. Aku sadar Pramana perlu waktu untuk menstabilkan hatinya. Aku tahu itu
tidaklah mudah. Maafkan aku Pramana.
Tidak terlepas
dari semua itu, kondisiku rasanya kembali melemah. Setiap sore aku latihan
dengan Gus Raka. Tidak apa, capeku terbayar oleh rasa yang meluap-luap ketika menarikan
tarian ini bersama orang yang aku inginkan.
“Ratih, kamu tidak
apa-apa?” tanya Gus Raka menghentikan tariannya ketika aku hampir jatuh lemas.
Aku menggeleng.
Dia tampak sangat
cemas. Tangannya mengusap peluh di wajahku yang mulai pucat pasi. Dia menuntunku
untuk duduk beristirahat dan memberiku minum.
“Penyakitnya Ratih
ini susah sekali disembuhkan,” kataku padanya. “Obatnya mahal. Kadang Ratih
jadi sadar dan merasa kasihan sama ibu dan bapak. Untuk sembuh harus diganti
dengan sumsum tulang belakang yang 100% identik dengan sumsum tulang
belakangnya Ratih...” Tak kuasa ternyata air mataku sudah jatuh beberapa tetes
melewati pipiku. “Kalo begini terus…hidupnya Ratih Cuma bisa nyusahin orang tua
aja.”
“Tenang…nanti pake
sumsum tulang belakangnya Gus aja.”
“Iiiiihhh…mana ye
segampang itu. Emangnya bubur sumsum gampang didapetin…”
“Bubur sumsum kan
banyak di jual di pasar” kata Gus Raka mencoba menghiburku. Gus Raka diam menatapku
lekat-lekat. “Sudah…jangan berfikiran negatif. Pasti semua akan baik-baik
saja.” Dia tersenyum lalu menepuk pipiku ringan. Aku suka saat dia melakukan
itu. Lalu mengusap kepalaku. “Apa masih sanggup untuk terus latihan sampai
akhir bulan ini?”
Aku mengangguk.
Gus Raka
menggeleng. “Istirahat saja.”
Aku menggeleng.
“Lebih baik istirahat
saja dirumah. Tarianmu juga sudah cukup bagus. Nanti menari saat pementasan
saja. Oke?”
Aku menggangguk.
“Kita pasti bisa
menari bersama.” Katanya kemudian.
Malam ini
kondisiku lemas sekali. Bapak dan ibuku juga sudah lelah untuk membujukku ke
rumah sakit dan aku tetap bersikukuh tidak mau. Aku hanya ingin diam di rumah
dan besok pagi ke balai pementasan untuk menari bersama Gus Raka. Cukup!
Bapak menyuntikkan
Desferal ke tanganku untuk menghilangkan zat besi berlebih. Sakit sekali! Jujur
aku takut akan penyakitku ini. Tapi aku akan berusaha bertahan untuk pementasan
ini saja. Demi impianku menari Oleg Tambulilingan. Demi menari bersama Gus
Raka. Aku akan bertahan demi semua itu.
Surya memberiku
nafasnya. Pagi ini pagi terindah yang pernah aku syukuri. Uduh Dewa Ratu,
terimakasih masih memberikan aku kehidupan untuk hari ini. Aku yakin aku bisa
menari hari ini.
Para tatarias sudah
sibuk dari dini hari mempersiapkan riasan pragina untuk menari. Gus Raka juga
sudah siap dengan riasannya, menggunakan kancut sepanjang 5 meter. Keren
sekali! Jujur saja, dia tetap menawan hati dan tak ada bosannya aku melihat
wajahnya meskipun hampir setiap hari aku melihatnya.
Para tatarias membantuku
mengenakan kamen, sabuk prada, gelang lengan, gelang tangan, lelamak dan
gelungan agung yang indah. Rasanya setiap menggunakan pakaian tari aku jadi
merasa sangat cantik. Berkilau-kilau dan mempesona.
Gong mulai
ditabuhkan. Di deretan tukang gambel itu, aku melihat Pramana. Dia senyum
ketika berhasil mencuri pandanganku. Aku harap dia bisa menerima keputusanku.
Menerima hidupku dan tidak sakit hati akan hal itu. Aku yakin dia bisa.
Gus Raka
menggenggam tanganku erat. “Sebenarnya Gus gak mau menari dengan orang lain
selain Ratih.”
Benarkah itu
kata-kata yang dikeluarkan oleh Gus Raka dan bukan kata-kataku? Benarkah kali
ini terjawab sudah semua perasaanku yang selalu memuncak padanya?
“Ratih senang
sekali menari dengan Gus Raka.”
“Menarilah dan
jadilah yang paling indah…”
Dia melepaskan
tanganku ketika tepat saat giliranku menari. Mengalir bersama gambelan,
meliukkan jiwa yang mulai menyatu dengan tarian. Bagaikan sekuntum bunga yang
paling cantik yang tumbuh di taman sari. Menanti kehadiran Gus Raka yang keluar
menjadi Tambulilingannya. Menuntaskan gerak tulak angsul dengan sempurna. Kami berdua
menyatu dalam aliran seni ini. Betapa bahagianya aku. Melebihi apapun.
Tapi.
“Gus Raka!!!”
jeritku.
Tabuh berhenti. Gus
Raka jatuh di depanku. Para penontoh riuh. Semua tak aku hiraukan lagi. Dia
kenapa? Uduh Dewa Ratu, kenapa bisa seperti ini. Aku langsung memangkunya di
atas kamen pradaku. Aku gerak-gerakkan tubuhnya. Kenapa tidak bergerak? Perasaanku
kelam. Mendadak tanganku dingin. Tak kuasa aku menahan tangisku. “ Gus Rakaaa!!!
Bangun…” teriakku, tapi tetap saja Gus Raka tidak menyahut. Rasanya mau gila
saja. Para kelihan mengambil sigap tubuh Gus Raka yang lunglai. Aku lemas
terduduk melepas gelunganku. Mengacak-acak rambutku. Berteriak-teriak seperti
orang tidak sadarkan diri. Sungguh tolong sadarkan aku, ini sebuah mimpi atau kenyataan.
Bolehkah untuk
tidak selamanya?
Penyakitku sembuh
karena berhasil melakukan transpalasi sumsum tulang belakang. Gus Raka telah
menitip pesan pada keluarganya untuk memberikan sumsum tulang belakangnya
untukku. Kata mereka Gus Raka memang anak melik yang bisa meninggal tiba-tiba.
Tapi bagaimana dengan aku? Apa aku bisa hidup tanpa dia? Bukankah tarian Oleg
Tambulilingan itu ditarikan oleh sepasang teruna-teruni? Aku depresi berat
selama 3 bulan.
Hatiku mulai luluh
dan tersadar. Untuknya akan aku abdikan diriku dalam seni. Dengan tubuh ini,
aku masih bisa menari untuknya. Dengan
tubuhnya yang juga kini melekat dalam tubuhku, aku akan menari.
Udara senja di
desaku ini kembali memberiku kesegaran hidup. Di ujung jembatan gantung ini aku
berlari menikmati puing-puing hatiku yang masih aku simpan rapi. Aku rindu ibu
dan bapakku. Setelah kepulanganku dari misi kesenian ke Eropa aku kembali
berniat menjadi guru tari di sanggar Cili Mekar menggantikan Odah Sri yang kini
makin renta karena usia. Aku akan memulainya lagi di sini.
Gus Raka…Ratih pulang. Apa kita bisa menari Oleg
Tambulilingan lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar