Sabtu, 20 April 2013
Takdir Ini
Sejak lahir aku tak pernah sendiri. Selalu bersama Gold, kembaranku. Hingga
kini aku tak pernah berpikir untuk berpisah dengannya. Aku sungguh sangat
mencintainya dan aku takut perasaan ini terhalang oleh hubungan darah. Dosakah
aku jika aku mencintainya sepenuh hati?
Enambelas tahun terlewati dan aku masih bersamanya. Perasaanku padanya juga
masih sama, tak berubah sedikitpun. Entah dia tau atau tidak,
perasaanku padanya bukan hanya sebatas rasa cinta pada saudara tapi lebih dari
itu. Aku jatuh cinta pada kembaranku sendiri dan aku bahagia dengan perasaan
ini.
Aku tau Gold sudah punya pacar dan dia sangat menyayangi pacarnya.
Namanya Yui, cantik, rambutnya ikal, pintar dan tentu saja aku sangat
membencinya. Aku tak bisa menerima kenyataan yang seperti ini. Yang aku mau,
Gold selalu bersamaku, bukan dengan Yui. Aku takut Gold akan pergi jauh
meninggalkanku.
Entahlah mengapa setiap berjumpa dengan Yui aku tak pernah baik padanya.
Hawa dan auraku mendadak berubah jelek bila di dekatnya. Aku akui, aku memang
jahat sekali padanya. Aku selalu menyakitinya. Mungkin aku terlalu cemburu
padanya, mungkin aku iri padanya atau mungkin aku memang sangat tidak
menginginkannya menjadi pacarnya Gold.
Di sekolah, saat jam istirahat, aku berpapasan dengan Yui. Aku menariknya
hingga ke gudang sekolah.
”Lepaskan!!!” Yui berteriak padaku.
Aku melepaskan tangannya dengan sedikit gaya keangkuhanku. ”Diam dan
dengarkan aku!” aku balas membentaknya.
Yui terdiam dan matanya menatapku dengan mata yang merah, nafasnya panas
karena dia juga sangat marah padaku.
”Aku gak suka kamu jadi pacar kakakku. Kamu gak pantas dapetin hatinya. Aku
gak akan pernah restuin hubungan kalian. Pokoknya hari ini kalian harus putus!
Putus!!!”
”Apa alasanmu bicara seperti itu, hah?” Yui bertanya dengan senyum
sisnisnya. ”Kau sendiri tak punya alasan untuk memisahkan aku dengan Gold. Aku
mencintai Gold dan Gold mencintai aku. Apa salahnya dengan semua itu?”
Tiba-tiba lidahku beku mendengar semua kata-kata Yui.
Senyum Yui makin melebar ketika melihatku beku dihadapannya dan itu sangat
merendahkan harga diriku. ”Oh, atau jangan jangan...kau menyukai saudaramu
sendiri? Kau ingin agar Gold menjadi milikmu seutuhnya. Ha ha ha, konyol
sekali!!! Kau egois!” kata Yui menusuk hatiku.
”Bukan seperti itu!” aku membentaknya. Karena tak bisa mengendalikan emosi,
aku menendang kakinya lalu pergi dari gudang itu dengan rasa yang kacau. Aku
menangis, sangat memalukan.
Seharian ini, setelah kejadian itu aku mengurung diri di dalam kamarku. Aku
enggan bertemu Gold. Aku takut Gold akan marah padaku karena telah menyakiti
pacarnya. selang waktu lima menit terdengar ketukan pintu kamarku. Mungkin itu
Ibu yang khawatir dengan keadaanku atau itu Gold. Tapi aku mengacuhkannya. Aku
tak mau bertemu seorangpun. Badanku lemas, mataku bengkak dan basah, aku pusing
sekali. Semuanya berputar-putar di kepalaku. Aku memikirkan tentang semuanya.
Rumit sekali!
”Pink...bangun...”
Aku merasakan lima buah jari menyentuh pipiku, dan jari itu milik Gold.
Perlahan kubuka mataku, samar-samar...ada matanya, ada hidungnya, ada bibirnya,
lengkap. Gold memandangiku, aku juga memandanginya. Aku gak tau harus bilang
apa. Untuk beberapa menit kami tak bicara.
”Lihatlah pintumu...” Gold memperlihatkan pintuku yang rusak
”Rusak...”
”Ibu menyuruhku mendobraknya karena pintunya kau kunci dari dalam” kata
Gold setengah tertawa.
”Tak perlu lakukan itu...”
”Apa masalahmu dengan Yui? Kalian bertengkar?” tanya Gold dengan lembut.
Dari dalam lubuk hatiku aku merasa sangat bersalah pada Gold dan juga pada
Yui. Tak seharusnya aku seperti ini, benar yang dikatakan Yui, aku egois. Aku
hanya mementingkan perasaanku tanpa memikirkan perasaan Gold dan Yui. Aku tak
pernah memikirkan apa yang terbaik buat Gold. Aku menyesal. Aku benar-benar
salah telah memendam perasaan terlarang ini.
Tak kuasa aku membendung air mataku. Aku menangis didepannya. ”Maafkan
aku...”
Gold memelukku. Sudah lama aku merindukan pelukan ini. Aku ingin selalu
disisinya, selama-lamnya, tapi mungkin tak bisa. ”Kau bodoh sekali...” kata
Gold setengah berbisik. Dia melepaskan pelukannya. Dia memandangiku yang masih
menangis.
”Maafkan aku...” aku mengulangi perkataanku.
”Tidak suka ya, jika aku pacaran dengan Yui?”
Aku masih menangis.
”Kau kenapa Pink? Pink yang aku kenal bukan seperti ini. Jelaskan
apa masalahmu padaku!!!”
“Dari dulu, mungkin dari sejak lahir yang aku suka cuma kamu. Aku ga
tau mengapa bisa begitu. Perasaanku ini bukan sekedar suka karena kau
saudaraku. Tapi aku, aku...”
”...” Gold tersenyum.
”Aku cinta padamu!” Oh, apa yang telah aku ucapkan? Aku mengatakannya.
Bagaimana dengan Gold? Apa yang akan ia ucapkan? Apa dia akan marah padaku?
”Aku juga cinta padamu, Pink!” ucapnya dengan jelas.
Apa aku tidak salah dengar? Gold mengatakan cinta padaku. Apa dia
sungguh-sungguh? Atau hanya sekedar menghiburku?
“Hubungan darah itu tak bisa dipisahkan Pink. Kita sedarah dan sehati. Apa
yang kau rasakan aku juga merasakannya. Kau mencintaiku dan aku mencintaimu.
Tapi kau harus mengerti perasaan cinta tidak hanya sekedar mengikat dan
terikat, tidak hanya memiliki dan dimiliki. Perasaan cinta juga harus memahami
orang yang dicintainya. Membuat orang itu bahagia dan tersenyum.”
Habis dayaku untuk mempertahankan perasaan yang aneh ini. Kali ini aku
harus merelakannya. Jika aku mencintai Gold, aku harus bisa membahagiakannya
meskipun harus mengorbankan perasaanku. Aku ingin Gold bahagia. Tapi...apa
takdirku memang seperti ini?
”Gold, aku hanya takut kau meninggalkanku...”
Gold menggeleng. ”Tak akan pernah! Aku berjanji akan selalu ada saat kau
membutuhkanku”
Ya setidaknya aku akan berusaha menerima kenyataan hidup. Aku percaya Gold
tak akan meninggalkanku, meskipun menempuh hidup lain bersama Yui, karena aku
dan Gold sedarah dan sehati. Apa yang aku rasakan sama dengan apa yang ia
rasakan.
Ketika aku sudah mengerti dan memahami semuanya, aku mencoba membenahi kesalahanku,
mengenai salahku pada Yui selama ini.
”Maaf...” kataku sembari mengulurkan tanganku. Aku berharap dia mau baikan
denganku.
Plak!!! Tangan Yui melayang kepipi kiriku. Dia menamparku dengan keras.
Mungkin pipiku merah dengan cap tangannya.
”Sakit!” desahku
”Tendanganmu yang waktu ini juga sakit...” Yui tersenyum dan menjabat
tanganku. ”Maafkan aku juga...” sambutnya.
Oh, inikah akhir dari semua ini. Tidak menyakitkan. Tidak membahagiakan.
Tidak ada yang kehilangan. Dan aku bisa menerimanya.
Kalian yang Membuatku Menangis
Aku capek
sekali, naik sepeda di hari sepanas ini, di bawah matahari yang lagi
narsis-narsisnya di atas sana .
“Panaaas!!!” keluhku berkali-kali, tapi sayang tak ada yang peduli. Keringat
dari kepala sampai telapak kakiku keluar deras. Lama-lama aku bisa dehidrasi.
Aku haus, ingin jajan, beli minuman kaleng atau jus di toko-toko yang sedang
aku lewati. Aku melirik isi kantongku, cukup!
Aku berhenti
di depan sebuah cafe kecil. Sudah lama tidak minum jus apel dan mencicipi kue-kue
cantiknya. Ketika aku menjongkrak sepedaku, tiba-tiba aku mendengar suara yang
tidak asing lagi.
“Miaaa...Miaaa...Miaaa...”
teriak Rere memanggil namaku. Seorang gadis seumuran denganku itu seperti
dikejar gajah berlari kearahku. Tidak jarang dia menabrak orang yang berjalan
di depannya lalu minta maaf, berlari lagi, menabrak orang lalu minta maaf lagi,
demikian seterusnya. Aku heran menatapnya, berdiri di depan pintu cafe tanpa
ekspresi apapun.
Tak lama, Rere
sudah sampai di depanku dengan nafas yang tidak beraturan. Dia berusaha
menenangkan nafasnya lalu tersenyum padaku. Aku tak membalas senyumnya karena
dia langsung memelukku. Aku gerah jadi aku tak suka dipeluk.
“Basah...”
kata Rere.
“Itu
keringatku, tenang saja tidak bau kok,” sahutku.
“Mia pake deodorankan?”
Tanpa
menghiraukan pertanyaan ga penting itu, aku langsung masuk ke dalam cafe. Rere
mengikutiku dari belakang. Aku memesan segelas jus apel. Rere juga memesan jus
yang sama.
Rere
memandangku lalu senyum-senyum sendiri. Dia menatapku terus menerus, aku merasa
terganggu. Aku memalingkan pandanganku, melihat poster-poster yang terpajang di
dinding cafe. Lima menit berlalu, tak sepatah katapun terucap dari mulutku.
Selama itu Rere juga tak bicara, dia hanya senyum-senyum ga jelas. Sampai
akhirnya pesananku datang.
“Mia...” Rere
memancingku untuk bicara.
Aku diam saja,
sibuk dengan jusku yang ingin segera kuhabiskan lalu pergi dari cafe ini.
“Mia marah
ya?” tanya Rere.
Aku terpaksa
berbohong. “Tidak!” jawabku singkat.
“Maafkan aku
Mia...”
“Maaf?” tanyaku
balik.
Mia memasang
wajah memelasnya padaku, “Ya...maafkan aku...”
Aku benci
sikap Rere yang bermanja-manja denganku. “Tak ada yang perlu dimaafkan, karena
tak ada yang salah dan harus dipermasalahkan lagi. Aku capek!!!” jelasku
setelah segelas jus di hadapanku telah habis sampai tetes terakhir. Aku mau
pergi.
Rere dengan
cepat memegang tanganku, matanya sudah basah. Dia menangis. Apa semua ini
gara-gara aku? Seandainya saja aku pembunuh bayaran, aku akan segera pergi dan
tidak memperdulikan lagi gadis yang menangis karena menyesali perbuatannya.
Tapi aku sungguh tak tega. Aku duduk lagi, mengeluarkan tisu dari tasku dan
memberikannya pada Rere. Aku menghela nafas, aku malu pada orang lain yang
memandangi kami, aku pasti tertuduh menjadi orang yang menyakiti, padahal aku
yang disakiti.
“Dera sudah
cerita padaku. Dia memilihmu dari hatinya yang paling dalam. Tak usah
diragukan. Aku tau dia orang yang seperti apa,” kataku dengan tenang.
Rere mengusap
air matanya dan mendengarkanku dengan baik. “Tapi bagaimana dengan Mia?”
“Aku? Jangan
khawatir! Aku gak akan mengganggu kalian. Tugasku di sekolah sangat banyak, PR
ku juga menumpuk, aku tak akan sempat untuk mempermasalahkan hal semacam itu”
“Lebih baik
aku putus saja. Aku ga enak sama Mia...”
“Jangan!!! Nanti
aku yang gak enak padamu”
“Tidak! Lebih
baik aku putus saja, aku gak mau Mia terus-terusan bersikap dingin padaku. Aku
tau semua ini karena salahku. Aku jadian sama Dera, padahal aku tau dari dulu
Mia suka sama Dera”
“Cukup!” Aku
menghela nafas lagi. “Tenang saja. Aku ga tertarik sama cowok yang menyebut
dirinya dengan namanya sendiri dan cengeng seperti Dera. Sekarang aku juga
sudah tidak ada rasa apapun pada Dera.”
“Tapi kenapa
Mia tadi mendiamkan aku, Mia marahkan?”
“Gak, aku cuma
capek,” jawabku dengan senyum kecil di ujung bibirku. Mungkin itu bisa
menenangkan keadaan, meskipun didalam hatiku masih berantakan dan tidak karuan.
“Benarkah?”
tanya Rere sembari mempersembahkan senyum yang paling lebar yang pernah aku
lihat.
Aku
mengangguk. “Ayo pulang! Kalo mau, kau boleh boncengan disepedaku kita pulang
sama-sama.”
Akhirnya, aku
mengajak Rere pulang. Rere itu temanku sejak kecil, kami bertetangga, tapi beda
sekolah. Dulu ketika SD aku masih satu sekolah dengannya. Dia anak yang cengeng
makanya anak cowok senang sekali mengganggunya. Dia menangis, dan aku yang
selalu menghiburnya. Selalu seperti itu. Hanya padaku dia mengadu, dan hanya
aku yang berani melawan anak cowok yang mengganggunya. Tapi, itu dahulu kala.
Setelah aku
SMP aku bertemu dengan Dera. Teman sekelasku yang selalu menceritakan masalah
pribadinya padaku. Anak yang selalu punya masalah besar, atau dia sendiri yang
memperbesar-besarkan masalah, semuanya diceritakan padaku. Cowok yang setiap
minggu menangis dihadapanku karena putus asa dengan masalah yang dia hadapi.
Cowok yang menyebut dirinya dengan namanya sendiri dan kadang membuatku merasa
aku sangat dibutuhkan. Lama-lama, aku menerima Dera dengan apa adanya. Semua
tentang dia, semuanya dan semuanya.
Sampai. Rere
turun dari sepedaku dan berhenti menceritakan hal-hal yang dari tadi tak ku
dengarkan karena pikiranku dipenuhi oleh huruf R-E-R-E dan D-E-R-A. Kami
berpisah didepan pintu gerbang rumahnya. Aku mengayuh sepedaku pelan, hanya
perlu 10 putaran roda saja, aku sudah sampai di rumahku.
Antara cinta
dan persahabatan. Sebenarnya apa yang lebih diprioritaskan? Seandainya tak ada
kekasih apa aku masih bisa hidup di dunia ini? Seandainya tak ada sahabat apa
aku juga masih bisa hidup di dunia ini? Tanpa mereka, aku juga masih bisa
hidup, karena merekalah yang membutuhkan diriku. Memang pada kenyatannya
seperti itu.
Satu hari
terlewati dan hari ini aku melihat hal yang tak perlu dicampur tangankan lagi.
Sepasang kekasih yang menangis, Dera dan Rere. Mereka berpelukan dan menangis.
Pemandangan yang membuat hatiku pilu. Tapi apa urusanku? Apa mereka menganis
gara-gara aku? Aku rasa memang hobi mereka menangis.
Dua hari
terlewati dan hari ini aku bertemu Rere di cafe yang sama. Aku memesan jus
apel. Rere juga memesan jus yang sama. Wajahnya berseri-seri. Dia ceria sekali,
lebih ceria dari yang biasanya.
“Kenapa?”
tanyaku memulai percakapan.
Rere
menggeleng lalu senyum-senyum. Aku tak mengerti, tapi aku biarkan saja. Aku
juga tak begitu tertarik mendengarkan jawaban dari pertanyaanku tadi. Mungkin
saja dia habis berkencan dengan kekasihnya atau mendapatkan hadiah dari
kekasihnya. Bukan urusanku.
Seperti biasa
Rere bercerita banyak. Dia memang cewek yang banyak omong. Mau tak mau aku
harus mendengarkannya. Tapi anehnya sedetikpun dia tidak bercerita tentang
Dera.
Tiga hari
terlewati dan hari ini aku bertemu Dera di dalam kelas, termenung sendiri
dibangkunya. Seperti ada masalah yang manyangkut di ubun-ubunnya.
“Kenapa?”
tanyaku memulai percakapan.
Dera
menggeleng.
“Kau kenapa?”
tanyaku sekali lagi.
“Putus!!! Dera
diputusin sama Rere. Padahal sebelumnya kami tak ada masalah apa-apa”
Aku kaget
setengah pingsan. “Apa?” aku memastikannya.
“Dera
diputusin sama Rere...”
“Kenapa
diputusin?” tanyaku
Dera
mengangkat bahunya tanda tak mendapat jawaban dari Rere.
Aku tertunduk
lemas dan menatap Dera sendu. “Jangan menangis, semuanya bisa diperbaiki”
Dera
menggeleng lagi. “Dera gak akan nangis lagi. Kata Rere, Mia gak suka cowok yang
cengeng”
Otakku
berputar-putar. Apa Rere berkorban demi aku? Aku menghela nafas dalam-dalam,
mencoba menenangkan diriku dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Aku
menatap Dera dengan tajam, satu hal lagi yang ingin aku ucapkan pada Dera. “Aku
juga gak suka sama cowok yang menyebut dirinya dengan nama.”
“Aku baru
sadar. Aku suka Mia, bukan Rere,” kata Dera tegas.
Dera mengerti
apa maksudku. Tapi aku sudah tak berharap lagi untuk mendapatkan cinta, kasih
sayang, perhatian atau apalah itu, dari orang yang bernama Dera. Satu-satunya
yang aku inginkan adalah secepatnya bertemu Rere dan bilang padanya tak perlu
melakukan hal seperti ini.
Sepulang
sekolah aku kerumah Rere tapi tak bisa bertemu dengannya. Rere pergi keluar
kota. Tinggal bersama ayahnya yang tugas diluar kota. Kenapa meninggalkan aku
dengan masalah seperti ini? Apa sahabat bisa berkorban apa saja demi
sahabatnya? Rere, seharusnya tidak seperti ini. Sudah aku jelaskan aku tidak
suka cowok yang menyebut dirinya dengan namanya dan aku tidak suka cowok yang
cengeng seperti Dera. Tapi kau merubahnya demi aku dan untuk aku.
Hari ini, setelah sekian lamanya aku tak menangis, aku menangis
sejadi-jadinya. Manusia memang harus menangis. Termasuk aku!
Cinta Jangan Kau Pergi
Cinta tak
perlu dikejar. Cinta juga tak perlu dicari. Karena orang yang selama ini
membuatku terkagum-kagum berada satu kelas denganku. Awalnya biasa saja, aku
bukan tipe cewe yang memandang cowo dari fisik, jadi cowo keren seperti dia
bagiku biasa-biasa saja. Semenjak hari itu, Selasa dua minggu yang lalu, ketika
hujan turun sepulang sekolah. Teman-teman yang lain rela basah-basahan untuk
pulang, tapi aku tidak. Aku menunggu hujan reda di emperan ruang kelasku.
Hingga hanya aku dan dia yang tersisa menunggu hujan mengijinkan pulang.
“Siapa
namamu?” dia bertanya saat itu.
Aku heran
dengan pertanyaannya. Bukannya aku tak mendengarnya tapi aku kesal pada orang
yang tak ingat nama teman sekelasnya. Aku diam saja.
“Namaku
Joker...kau kenal aku kan?” Dia malah memperkenalkan dirinya setelah aku
diamkan beberapa menit. “Panggil aku Joe,” katanya kemudian.
“Orang aneh!”
“Apa??? Namamu
Aneh? Ha...ha...lucunya...” dia meledekku.
Terpaksa aku
turuti apa maunya, aku jabat tangannya dan memperkenalkan diri. “Namaku
Kartika. Aku sudah enam bulan menjadi teman sekelasmu, tapi baru kali ini aku
bicara padamu dan parahnya kau tak ingat namaku. Ingat baik-baik
ya...kar...ti...ka...!!! Aku, Kartika.”
Dia tersenyum.
“Kar...ti...ka...Kartika! Ya, aku ingat!!!”
Aku menatapnya
jelas. Memang keren. Pantas saja teman-teman cewe di kelasku banyak yang suka
Joker. Tapi, apa aku juga suka orang ini?
Gerimis,
lumayan lama aku dan Joker menunggu hujan reda. Tak pernah kubayangkan
sebelumnya, ternyata Joker asik juga diajak cerita. Dia bercerita banyak
padaku, meskipun bukan cerita serius, tapi aku suka. Dia sungguh menarik.
“Kartika...aku
panggil kamu Ica
aja ya...” Terakhir Joker berkata seperti itu padaku.
“Terserah...”
jawabku.
Hujan
berhenti. Joker pulang. Aku masih terpaku di emperan kelas sendirian. Perasaan
apa ini? Kenapa begitu menyenangkan? Mungkinkah aku mulai tertarik pada Joe?
“Ica , kalo soal nomer empat
pake rumus yang mana?” tanya Joker saat jam istirahat
Sejak saat itu
dia memanggilku Ica. Sejak saat itu pula dia menjadi akrab denganku. Perubahan
singkat ini tentu saja membuat efek pada teman-teman kelasku. Mereka pikir aku
dan Joe pacaran.
“Woi!!! Jangan
bengong aja! Nanti ayam tetangga pada mati lho...ha...ha...Pake rumus yang
mana?” Joe bertanya sekali lagi, memecah lamunanku tentang dirinya.
“Oh...ya...pake
rumus yang ini...begini...lalu begini...” aku menjelaskan penyelesaian soal
Matematika yang dia tanyakan.
Joe
manggut-manggut, mungkin mengerti, mungkin juga dia bingung. Tapi aku senang
jika setiap hari seperti ini. Aku susah mengakuinya, aku benar-benar merasakan
perasaan yang beda, lain dari pada yang lain. Aku jatuh cinta!
Hari-hari
berlalu dengan indahnya. Tentu saja semua itu karena Joe. Tiap pagi dia selalu
menjemputku untuk pergi kesekolah, pulang bareng, ke bioskop, jalan-jalan, beli
ice cream, dan lain-lain. Sungguh menyenangkan.
“Kartika, kamu
sudah jadian ya sama Joker?” tanya Ririn padaku.
Mendengar
pertanyaan Ririn aku jadi salah tingkah. “Belum...” aku menggeleng.
“Kalo belum,
artinya kalian mau jadian...aaa....aaa...” kata Olip menggodaku.
Ririn dan Olip
menertawakanku. Mukaku jadi merona.
“Kartika
beruntung banget ya bisa deket sama Joker. Padahal aku juga naksir Joker. Ya,
tapi kalo Joker sama Kartika aku ga apa-apa sih...aku mengalah
deh...ha...ha...” Ririn menerangkannya padaku.
“Aku juga
naksir Joker,” kata Olip.
“Siapa sih
yang ga naksir cowo sekeren Joker??? Ha...ha...ha...” Ririn tertawa.
Teman-temanku
selalu berkata seperti itu padaku. Bukannya mereka marah karena aku dekat
dengan Joe tapi mereka jujur dan mengaku suka pada orang yang juga aku sukai.
Mereka benar, aku memang beruntung karena bisa akrab dengan Joe. Semuanya
membuat aku tambah optimis saja, dalam waktu dekat Joe akan menyatakan
perasaannya padaku. Aku menunggu itu Joe.
Pagi awal dari
hari anehku. Joker tak menjemputku. SMS yang aku kirim juga tak ada balasan.
Akhirnya aku berangkat sekolah sendiri. Sampai di sekolah aku tak bertemu
dengan Joker. Hari ini dia bolos tanpa keterangan. Aku jadi merasa sepi,
meskipun ada Ririn dan Olip yang menemaniku bercerita, tapi tanpa Joker hari
ini, rasanya lain...
Sudah tiga
hari Joker bolos sekolah. Aku juga tak bisa menghubunginya. SMS yang aku kirim
juga tak pernah dibalas. Ingin aku pergi kerumahnya tapi aku tak punya alamat
rumahnya. Teman-teman yang lain juga tidak tau alamatnya. Aku putus asa. Joker
kemana? Kenapa tidak memberiku kabar apa-apa? Apa dia tidak sadar kalau aku
sangat rindu padanya?
Doaku
terkabulkan. Joe sekolah lagi. Tanpa menunggu aba-aba aku langsung berlari
menghampirinya. “Joe, kamu kenapa sih?” aku membentaknya, berharap dia akan
menjelaskan mengenai semuanya.
“Pagi-pagi
jangan bentak-bentak dong!!!” Joe balas membentakku.
“Joe kamu kok
bolos sih??? Sudah tiga hari ini...kamu kenapa? Terus, kalo aku telepon kenapa
ga nyambung-nyambung?” aku lontarkan segudang tanyaku.
Joe menatapku
marah. “Kenapa? Hah...Apa urusanmu? Kartika, jangan mentang-mentang selama ini
kita dekat, kamu jadi salah sangka padaku”
“Apa
maksudmu...?”
“Aku
menganggapmu temanku. Cukup. Tidak lebih!!!” Joker berteriak keras. Teman-teman
sekelas jadi mengerumuni kami, menjadikan kami tontonan seru yang siap menjadi
gosip selanjutnya.
Aku diam. Aku
sedikit kurang mengerti apa maksudnya. Padahal aku tak pernah mengatakan hal
itu padanya. Aku hanya bertanya dia kenapa bolos sekolah. Sungguh aku tak tahan
lagi, aku jadi ikutan marah padanya. “Hey...aku benar-benar tak mengerti. Aku
tak pernah bilang seperti itu padamu. Ha...ha...lucu sekali! Aku hanya peduli
padamu,” kataku.
“Tak pernah
kau bilangpun, aku sudah tau itu. Kau pasti suka padaku!”
“Bukan itu
masalahnya, kenapa kau bolos sekolah selama tiga hari? Apa kamu sudah bosan
belajar?”
“Diam!!! Kau
tak perlu turut campur apa masalahku! Berhenti untuk mendekatiku karena kamu
bukan tipeku”
Aku ingin
balas membentaknya tapi Ririn dan Olip cepat-cepat menenangkanku. Aku tidak
habis pikir apa yang menyebabkan Joker seperti ini. Lebih dari semua itu, aku
sakit hati, dia menolakku, membuangku. Aku bukan tipe cewe yang disukainya. Dia
sungguh membuatku bingung. Kenapa berubah secepat ini?
Entahlah, apa
Joker masih marah padaku atau tidak. Dia selalu menghindar dariku, tak pernah
bercerita padaku lagi. Satu hal yang semakin membuatku kecewa dia tak lagi
memanggilku Ica. Apa salahku padanya? Seingatku tak terjadi masalah apapun
sebelum dia bolos. Aku bingung setengah mati. Aku tak bisa mengerti tentangnya.
Siang itu,
sepulang sekolah, ada seorang cowo berseragam SMA lain menghampiriku. Aku tak
mengenalnya. Tapi dia benar-benar encariku dan ingin menceritakan sesuatu hal
penting padaku.
Aku Andre,
temannya Joe. Kamu Ica kan?” dia memulai pembicaraan.
Aku
mengangguk. “Kau bisa menceritakan tentang Joe padaku” tanyaku mendesaknya.
“Ya, memang
itu yang akan aku ceritakan. Joe sudah banyak cerita tentangmu padaku. Dia suka
kamu Ca...”
Aku terdiam.
“Tapi Joe sudah
punya pacar. Selama ini dia pacaran jarak jauh. Joe sayang banget sama
pacarnya. Tapi ada kamu yang membuatnya bimbang akan dua pilihan. Akhir-akhir
ini mereka sering bertengkar. Hampir putus...Tapi Joker memutuskan untuk baikan
dan minta maaf sama pacarnya.”
“Joe tak
pernah cerita apa-apa padaku. Aku juga ga tahu kalo dia suadah punya pacar. Ini
semua gara-gara aku. Aku selalu berharap lebih padanya...aku menyusahkannya...”
Tanpa aku sadari aku menangis.
“Dia bolos
tiga hari karena minggat dari rumah dan tinggal dirumahku. Mungkin dia stres
karena hubungan keluarganya sedang tidak baik. Semenjak itu dia jadi bersikap
tak jelas dan aneh padamu. Dia berusaha menghindarimu karena dia sudah membuat
pilihan yang tak akan diingkarinya. Mungkin untuk beberapa hari ini saja tapi
seiring berjalannya waktu dia akan kembali seperti biasa lagi.”
Cukup sudah
penjelasan yang telah membuatku mengerti akan hal ini. Entahlah, apa aku akan
membiarkan Joe pergi tanpa memberiku apa-apa lagi? Aku mengerti cinta itu tak
perlu dikejar. Cinta juga tak perlu dicari. Karena cinta akan datang lagi. Dan
tak ada yang bisa merubah hidupku meskipun cinta yang aku percaya sekalipun.
Aku akan memenangkan hidupku. Aku percaya ada cinta untukku. Tapi kenyataannya
cinta itu lari dariku.
Hari ini langit nampak mendung. Hujan
dihari Selasa sepulang sekolah. Aku menunggu hujan reda dengan seseorang.
Seseorang yang tak jauh tapi menjauhi hatiku. Kenapa sampai sekarang aku masaih
terikat rasa olehmu, Joe?
Bebaskan Aku
Kriuuuk!!!
Nyam...nyam...nyam... Kriuuuk!!! Kriuuuk!!! Nyam... Begitulah, sepulang sekolah
aku hanya mengunci diri di kamarku dan menghabiskan snack yang kubeli satu per satu.
Bungkus taro, citato, lays, dan sea crunch, berhamburan dilantai tanpa
kupedulikan. Aku melirik tasku, masih ada sepuluh snack lagi, lalu aku kembali
memasukkan makanan ringan itu kemulutkku. Nyam...nyam...nyam...
Sebenarnya aku
punya program diet dan pantang melakukan hal terlarang seperti ini. Tapi aku
punya alasan. Aku stress! Kata temanku obat mujarab penghilang stress adalah
makan. Bayangkan makanan itu adalah orang yang kita benci dan habiskanlah agar
rasa benci itu masuk ke perut. Menurutku ini memang benar-benar ampuh.
Setelah
menghabiskan semuanya aku minum air sebanyak-banyaknya. Kata Mamaku setelah
makan makanan ringan agar tidak radang tenggorokan aku harus minum air. Perutku
penuh dengan kebencianku. Oleh sebab itu aku jadi mengantuk dan tertidur.
Malam harinya
Mama memarahiku karena tahu aku telah menghabiskan banyak snack hari ini.
“Wina, Mama
kan sudah bilang berulang kali, jangan makan snack-snack kayak begini. Kamu
makannya banyak lagi. Nanti kamu bisa sakit”
“Tenang aja
Ma...tadi Wina dah minum air yang banyak kok”
“Walaupun
sudah minum air tapi kalo makan snack sebanyak ini tenggorokanmu bisa sakit”
Mama lalu meraba bagian leher dan dahiku. “Tuh kan...panas...kamu sakit kan
jadinya. Udah sekarang cepat pergi tidur. Biar besok bisa ke sekolah”
Tanpa
perlawanan lagi aku masuk kamar dan berbaring di tempat tidurku. Sayangnya tadi
siang aku sudah tidur, jadi untuk tidur cepat malam ini rasanya sia-sia saja.
Dalam situasi tak bisa tidur seperti ini kembali memancingku untuk memikirkan
hal-hal bodoh yang seharusnya tak perlu dipikirkan lagi. Tapi tetap saja tak
bisa aku abaikan.
“Aku bingung
tau sama pacarku. Sebenarnya pacarnya itu kamu atau aku. Setiap hari pasti
hanya ada namamu...Wina...Wina...Wina...dan Wina...BT tau gak! Aku kira kita
temen, sahabat, atau apalah namanya itu...Tapi kamu udah bikin aku
kecewa...kecewa!!!” Kata-kata itu terngiang-ngiang lagi. Karin marah padaku
karena Dira selalu ingin membuat Karin menjadi sepertiku. Mereka pacaran.
Menurutku mereka pasangan yang serasi secara fisik. Tapi kehadiranku ini
terlalu mengganggu mereka. Apa lagi terhadap Karin, dia teman sebangkuku. Aku
sangat merasa bersalah padanya. Semua ini gara-gara Dira, karena dia seperti
ini aku yang kena getahnya.
Apa sih yang
Dira lihat dari diriku? Dalam skala fisik 10 aku hanya mendapat nilai 5,5. Dari
segi otak aku juga termasuk siswi yang biasa-biasa saja, ulangan tertinggiku
hanya 80, tidak lebih. Tapi kenapa dia seakan selalu menghantuiku? Selalu
membuat aku sial seperti ini.
Lewat tengah
malam, mataku masih terang. Aku belum bisa tidur. Parahnya aku mulai merasa
badanku panas, tenggorokan yang sakit dan gejala tidak enak badan lainnya.
Akhirnya aku tertidur juga membawa semua rasa ini yang harus aku tanggung
sendiri.
Pagi ini
terang saja aku tidak sekolah. Aku sakit. Mamaku sudah membuatkan surat sakit
untuk ijin tidak sekolah yang ditipkan pada Karin. Karin lalu meneleponku.
“Wina...kamu
beneran sakit?” tanya Karin dari seberang sana .
“Ya...”
jawabku lemas.
Selang waktu
Karin terdiam lalu dia bicara lagi,” Maaf ya Win. Kemarin seharusnya aku ga
sekasar itu padamu. Setelah aku pikir-pikir memang semua ini salahku. Mungkin
memang aku ma Dira gak cocok lagi. Tapi...sudahlah...”
“Dira yang
brengsek!” kataku kemudian.
“Haaa?”
Sepertinya Karin jadi terkejut setelah perkataanku tadi. “Na, kita masih
sahabatankan?”
“Ya tentu
saja...” jawabku kemudian.
Lalu Karin
menutup teleponnya. Aku sedikit lega karena setidaknya Karin bisa menerimaku
lagi. Karin yang minta maaf padaku, padahal aku yang jadi biang masalahnya. Terserahlah...aku
mau istirahat. Kepalaku lama-lama makin sakit. Oh, menderitanya hidupku.
Keesokan
harinya aku agak mendingan. Enggan rasanya pergi ke sekolah apalagi untuk
bertemu Dira. Dengan terpaksa pagi ini aku berangkat ke sekolah karena tidak
ingin ketinggalan pelajaran lebih banyak lagi.
Sialnya orang
pertama yang aku jumpai setibanya di dekolah adalah Dira. Aku menahan napas
ketika Dira menatapku. Aku segera pergi menghindar. Tapi Dira mengikutiku. Aku
kumpulkan segenap keberanianku dan berhenti di sebuah lorong kelas sekolahku.
“Apa maumu?”
tanyaku setengah berteriak. “Puas???” bentakku lagi. “Gara-gara kamu aku hampir
saja ditinggal sahabat. Kenapa kau selalu menyusahkan aku? Apa salahku?”
“Win kamu
sudah sembuh?” Dira malah bertanya padaku.
“Haaa?” Aku
sedikit bingung dengan pertanyaannya.
Dira lalu
meraba dahiku, “Panas...” katanya kemudian.
Aku menatapnya
aneh. Lalu aku pergi tanpa mempedulikannya lagi. Aku segera mencari Karin di
kelas.
“Wina...”
Karin memanggilku ketika aku sampai di dalam kelas.
Aku segera
menghampirinya dan duduk di kursiku.
“Kemarin aku
nangis gara-gara sakit hati. Aku diputusin Dira. Padahal awalnya aku yang mau
putusin dia. Tapi sekarang aku gak sedih lagi. Kamu bener Win, Dira emang
jahat! Untuk apa aku nangis-nangis gara-gara dia. Sekarang dia udah punya pacar
baru. Namanya Rena, anak kelas sebelah. Gila gak tuh...si Dira!!!” jelas Karin.
Aku diam saja
mendengarkan cerita Karin. Dalam otakku tak henti-hentinya berpikir, kenapa ada
orang seperti Dira. Setelah Karin, apakah cewek barunya itu akan menghukumku
juga. Apakah harus selalu bersangkutan dengan kehidupanku. Padahal aku tak
pernah mengganggu kehidupan Dira, apalagi tentang pacar-pacarnya itu.
Hari berlalu
dan ternyata tak begitu menyulitkan kehidupanku. Aku bisa bernapas tenang tanpa
Dira yang selalu memberiku masalah-masalah gila atau tentang pacar-pacarnya
yang selalu menuntutku untuk menjauhi Dira padahal aku tak ada hubungan apa-apa
dengan Dira.
“Win, nanti
sore kita jadi nonton kan...?” tanya Karin pada suatu hari lewat telepon.
“Ya...nanti
aku tunggu di tempat biasa,” jawabku.
“Siiip!!!”
Hari ini aku
mau nonton konser. Bukan band favoritku, tapi ini band kesukaannya Karin.
Meskipun demikian aku tetap ikut karena aku bosan diam dirumah. Ketika sudah
siap, aku menunggu Karin menjemputku di halte tempat menunggu angkutan umum.
Lama aku menunggu Karin, ini sudah jadi kebiasaannya yang menyebalkan.
Tiba-tiba saja
seorang gadis menghampiriku. Aku kenal gadis ini, namanya Rena. Setahuku dia
sekarang pacarnya Dira. Apa yang akan terjadi sekarang? Tanyaku dalam hati.
“Ini ya...yang
namanya Wina...” kata Rena sinis di depanku.
Aku diam saja,
mencoba tidak memperhatikannya.
“Eh, kalo
orang bicara tu...perhatiin donk!” bentaknya. “Sopan sedikit!!!”
“Sopan? Siapa
yang gak sopan?” tanyaku.
“Kamu!!! Dasar
cewek murahan, sukanya merebut pacar orang!” katanya lantang dan membuatku
mulai naik darah.
“Siapa? Salah
orang kali...” kataku menahan emosi.
“Kamu!!!
Setiap hari aku selalu dibanding-bandingi dengan kamu. Apa yang aku lakukan
untuk Dira selalu salah. Apa yang aku coba berikan untuk Dira selalu salah.
Selalu harus seperti kamu...”
“Aku?”
“Ya!!!”
Lalu Karin
datang menghampiri kami. Terang saja dia heran kenapa ada perdebatan seperti
ini. “Ada apa
Win?” tanya Karin pelan.
Rena memalingkan
penglihatannya pada Karin dan menarik tangannya. “Karin...kamu gak tau ya,
gara-gara Wina dulunya kamu jadi putus sama Dira dan sekarang gara-gara Wina
juga...aku jadi putus sama Dira. Semua gara-gara dia!!!” kata Rena sambil
menuding-nuding wajahku.
Karin hanya
diam saja dan menatapku. Aku tak tau apa yang Karin pikirkan. Apakah dia akan
salah sangka karena hasutan Rena? Tapi akhirnya Karin memperlihatkan matanya
yang mulai merah berair, dia menangis dan kembali menyalahkan aku. Tak tahu
harus bagaimana, aku menyetop sebuah angkutan umum lalu pulang meninggalkan
semua yang selalu menyalahkan aku.
Di sekolah
rasanya semua orang ingin membunuhku. Entahlah apa yang sudah Rena ceritakan
tentang aku pada semua makhluk di sekolah ini. Tak ada teman, tak ada sahabat,
tak ada satupun orang yang mengajakku bicara. Karin tak mau bicara padaku. Dia
terlanjur salah sangka. Sudah berjuta-juta penjelasan aku utarakan padanya,
tapi tetap saja tak mau mengerti. Aku menghela napas dalam-dalam. Aku ingin
melarikan diri keluar angkasa.
Jam pelajaran
usai. Semua orang sudah pulang. Aku sendiri duduk termenung memikirkan apa yang
harus aku lakukan untuk terbebas dari semua ini. Apa yang salah dari diriku
ini? Semua berawal sejak tahun ajaran baru kenaikan kelas dua yang membuat aku
satu kelas dengan Dira. Awalnya dia selalu mendekatiku dan entahlah dia
menyimpan perasaan apa padaku. Selalu seperti itu. Aku tak pernah
menghiraukannya, aku tahu, aku tak begitu pantas dengan cowok idola di
sekolahku, dan selain itu aku tahu dia sudah punya pacar. Semenjak itu hidupku
tak pernah tenang. Pacar-pacarnya selalu menyalahkan aku, termasuk Karin dan
Rena. Aku sudah tidak kuat lagi dengan semua ini.
Dari balik
pintu ada seseorang yang tak pernah aku harapkan kehadirannya. Dira datang
dengan santai sambil menenteng jaketnya yang tidak dia kenakan.
“Belum pulang
Win?” tanyanya padaku.
“Aku mau
bicara sebentar denganmu,” kataku tegas.
Dengan cepat
Dira menghampiriku lalu duduk di atas mejaku. “Tentang apa?” tanyanya lagi.
“Aku gak pernah
mengerti apa sebenarnya maumu. Aku juga gak terlalu ingin tau tentang itu
karena itu semua bukan urusanku. Tapi jelaskan pada pacarmu atau
mantan-mantanmu itu kalo kita berdua tak ada hubungan apa-apa.”
“Lalu...”
“Mereka semua
menyalahkan aku dan bilang aku yang merebutmu. Padahal sama sekali aku tak
pernah ada sangkut pautnya dengan kehidupanmu. Mereka merasa tersaingi dengan
keberadaanku dan selalu kau banding-bangdingkan antara aku dan mereka”
“Hmm...aku
menjadikanmu contoh untuk mereka”
“Omong kosong!”
“Bener kok...”
“Aku mau kau
memperbaiki imageku di sekolah ini. Karena semua gara-gara kau teman-temanku
menjauhiku”
“Oh ya? Ini
semua gara-gara aku?”
“Ya!”
“Baiklah akan
segera ku bereskan...maafkan aku sebelumnya”
“Maaf saja
tidak cukup,” kataku lalu pergi meninggalkan kelas.
Setidaknya aku
sudah sedikit tenang. Aku berharap Dira bisa medengarkan perkataanku dengan
baik. Aku hanya ingin teman-temanku kembali lagi. Karena memang benar aku tak
ada salah apa-apa.
Perubahan yang
cepat. Dira memegang perkataanku. Hidupku kembali seperti semula. Karin juga
sudah seperti sediakala. Aku senang Karin bisa mempercayaiku lagi. Aku tak
ingin teman-temanku kembali menjauh hanya karena salah paham tentang aku dan
Dira.
“Terimakasih,”
kataku pada Dira ketika aku bertemu dengannya di toko buku.
Dira hanya
manggut-manggut. “Aku gak tau sebenarnya apa yang kamu pikirkan tentang aku...”
kata Dira lalu melemparkan sebuah buku padaku.
“Aku jaga gak
tau apa yang sedang kamu pikirkan...” kataku lalu aku dilempari dua buku dan
terpaksa aku yang membawakan buku-buku ini.
“Sebenarnya
aku suka kamu,” kata Dira dengan santainya. Dia lalu memberikan aku lima buah
buku lagi dan menyuruhku membawakannya.
Mendengar
perkataanya barusan aku hanya bisa diam. Aku memperahatikan buku-buku
pilihannya yang mungkin akan dibelinya semua.
“Tapi
sayangnya...kau selalu menghidar dariku...Kenapa Win?”
Aku tetap
diam.
“Lalu aku
mencari-cari orang yang seperti kamu...tapi gak ada. Mereka semua gak bisa
gantiin kamu”
Bibirku makin
beku.
“Tolong...”
kata Dira lalu memberiku tiga buah buku lagi dan menyuruhku untuk
membawakannya.
“Akan kau beli
semua?” tanyaku pada Dira dan akhirnya aku bisa bicara.
Dira
mengangguk. “Cukup untuk aku habiskan diwaktu liburan nanti”
Keluar dari
toko buku Dira menanyakan sesuatu padaku. “Wina kamu mau kan jadi pacarku?”
Tentu saja aku
diam mengingat semua yang telah aku alami dan disalahkan oleh mantan pacarnya.
Aku tak bisa menjawab. Mungkin ini membuat Dira menunggu. Aku menahan napasku
berharap Dira akan memalingkan pembicaraan dan membuatku sedikit lega.
“Kalau kau
diam artinya mau,” kata Dira yang sama sekali tak pernah aku bayangkan. “Mulai
sekarang kita pacaran,” katanya lalu meninggalkan aku yang hanya bisa beku.
Semenjak itu
aku jadi pacarnya Dira. Meskipun sudah aku tolak tapi tetap saja statusku
adalah pacarnya Dira. Banyak temanku yang protes. Semua yang aku takutkan
bermunculan satu persatu. Tapi pada akhirnya semua terlewati dengan baik-baik
saja. Dira sudah dapat apa yang dia inginkan yaitu aku. Mungkin dengan begini
aku tak akan pernah dipersalahkan lagi karena dituduh merebut pacar orang.
Sekarang Dira pacarku jadi aku tak pernah merebut siapa-siapa lagi.
Kaulah Romeoku
Apa impian
gadis SMA yang berumur 16 tahun pada umumnya? Kalau aku banyak sekali! Salah
satunya aku ingin punya seorang pacar seperti Romeo dan menjalani kisah cinta
yang ekstrim meskipun nantinya berakhir sad ending. Tapi aku benar-benar ingin
menjalani kisah cinta yang dramatis itu.
Meskipun
sekarang aku sudah punya pacar yang baik hati, tapi aku belum pernah menjalani
kisah cinta yang dramatis. Kehidupan yang biasa-biasa itu membosankan. Aku
percaya suatu saat nanti aku pasti bisa menjadi Juliet dan pacarku menjadi
Romeo.
Pacarku
namanya Ryan. Cowok pintar, sopan, polos, agak pendiam, tidak sombong dan rajin
menabung. Satu hal yang paling aku suka darinya dia orang yang nekat dan
berani. Atas dasar semua itulah aku menerimanya ketika dia menyatakan
perasaannya padaku. Dan aku pacaran. Ternyata perasaan cinta yang meledak-ledak
itu tak bertahan lama, yang ada sekarang hanya kisah cinta yang baik-baik saja
tanpa masalah. Padahal aku ingin variasi. Entahlah ini semua karena siapa, tapi
menurutku ini gara-gara pacarku.
“Mau pulang?”
tanya Ryan ketika jam pulang sekolah.
Aku memang mau
pulang karena hari ini aku tidak ada ekstra. Tak biasa dia menanyakan hal
semacam itu, mungkin saja hari ini dia mau mengantarku pulang. Aku mengangguk
dengan penuh harapan.
“Ya, pulang
dah sana. Aku hari ini ada ekstra Matematika,” katanya kemudian.
“Ya, aku mau
pulang...” kataku menerima kekecewaan. Aku merasa bodoh sekali berharap diantar
pulang oleh pacarku sendiri. Menyebalkan!
Ryan tersenyum
dan melambaikan tangannya. Aku senyum padanya meskipun dalam hatiku ingin
memaksanya untuk mengantarku pulang.
Lama sekali
aku menunggu angkutan umum. Lama!!! Tiba-tiba saja sebuah mobil mewah berhenti
di depanku. Dari mobil itu turun dua orang pria berpakaian serba hitam lengkap
dengan kaca mata hitam seperti agen rahasia di film-film. Aku heran melihatnya
karena aku tidak pernah melihat hal semacam ini sebelumnya dalam kehidupan
nyata.
Aku diculik!
Dengan cepat dua orang tak dikenal itu memasukkan aku ke dalam mobil. Tolong!!!
Tolong aku!!! Dalam batinku sudah berteriak-teriak seperti itu, karena mulutku
ditutup jadi tidak bisa berteriak sungguhan. Mobil segera melaju dan aku tidak
tau kemana tujuannya. Inikah awal dari kisah dramatisku? Aku sedikit senang
karena inilah saatnya impianku menjalani kisah cinta yang dramatis menjadi
nyata. Ryan akan menyelamatkan aku dari penjahat-penjahat ini. Keren! Tapi saat
ini aku benar-benar dalam bahaya. Tolong!!!
Mulutku
akhirnya dibuka. Terang saja setelah itu aku berteriak-teriak. “Tolong!!!
Ryan...tolong aku!!!” jeritku di dalam mobil itu.
“Hey, tenang
sedikit! Jangan seperti orang gila begitu! Nanti disangkanya aku penculik,”
kata seseorang yang takku sadari ternyata ada di sampingku.
Aku
menatapnya. Anak cowok ini mungkin sebaya denganku. Penampilannya rapi seperti
seorang pangeran atau seorang tuan muda yang kaya raya. Ah, kenapa aku
mempermasalahkan hal yang tidak penting seperti itu?
“Kau memang
penculik! Dasar penculik!!!” bentakku. “Mau dibawa kemana aku? Kembalikan aku!
Tolong!!! Ryan!!!” jeritku lagi.
“Siapa Ryan?
Dari tadi kau memanggil nama itu terus,” komentar orang itu.
“Dia Romeoku!”
jawabku polos.
“Romeo?”
“Ya”
Aku lalu
mencari ponselku di dalam tas bermaksud untuk menelepon Ryan dan menyuruhnya
menyelamatkan aku. Orang yang di sampingku diam melihatku. Sepertinya dia tidak
keberatan kalo aku menelepon Ryan.
“Kenapa Na?”
Itulah kalimat pertama Ryan ketika teleponku diangkat.
“Ryan tolong
aku...aku diculik...”
“Apa???
Diculik?”
“Ya, aku
diculik...selamatkan aku...”
“Mona jangan
bercanda ah, sebentar lagi ekstraku dimulai nih...”
“Bener kok aku
diculik...”
Tut...tut tut
tut...tut... Teleponku ditutup. Romeoku melarikan diri. Hilang sudah
angan-anganku, terbang, pupus di langit biru. Aku melihat orang yang di
sampingku tertawa sendiri. Dia pasti menertawakanku.
“Romeomu?”
tanyanya.
Aku jadi kesal
diledek orang ini. “Tolong!!!” aku berteriak lagi memalingkan kekecewaanku.
“Sudahlah...percuma
saja... Oh ya, kau suka ice cream?”
Aku kaget
mendengar pertanyaan yang menurutku sama sekali tidak menjurus pada otak-otak
kriminal. Ice cream? Tentu saja aku mengangguk. Lalu aku ditrakir ice cream.
Aneh sekali, komentarku dalam hati.
“Apa
sebenarnya maumu?” tanyaku sambil menjilat-jilat ice cream.
“Menjadikanmu
Julietku,” jawabnya.
Mataku
membelalak lalu tersedak-sedak entah gara-gara ice creamnya atau gara-gara
mendengar perkataannya. “Tapi...aku...”
“Kau sudah
jadi Julietnya Ryan?”
“Ya, kau
benar!”
Dia tersenyum.
“Terserah.! Yang penting aku ingin menjadikanmu Julietku,” katanya kemudian.
Aku diam saja
pura-pura tidak menghiraukan perkataannya. Aku tidak mengerti apa sebenarnya
yang dia inginkan. Feelingku juga baik-baik saja, jadi semua akan baik-baik
saja. Setelah ice creamku habis, aku diantar pulang kerumah. Terakhir aku
sempat menanyakan namanya, dia tersenyum dan menjawab,”Romeo”
Tanda tanya
besar menancap di kepalaku. Kerisauan hati yang takku inginkan juga
bermunculan. Aku bingung setengah mati. Tentang orang aneh bernama Romeo yang
tiba-tiba muncul, tentang kekecewaanku pada Ryan dan tentang kisah cintaku yang
gagal menjadi kisah sedramatis Romeo dan Juliet.
Di sekolah
hari ini aku tidak konsentrasi dalam mengikuti pelajaran. Aku juga mengantuk
gara-gara semalam tidak bisa tidur memikirkan hal-hal aneh itu. Aku berharap
hari ini tidak akan diculik lagi dan tidak bertemu Romeo yang aneh itu. Usai
jam pelajaran aku meminta Ryan untuk mengantarku pulang. Aku takut diculik
Romeo aneh itu lagi.
“Mona...aku
hari ini ada latihan basket, jadi gak bisa ngantar pulang...”
“Tapi aku takut.
Nanti aku diculik lagi...” rengekku.
Ryan malah
tertawa.
“Kau tidak
percaya padaku?” Aku menatap Ryan.
Ryan membalas
tatapanku, tentu saja dengan tatapan yang sama tajamnya dengan tatapanku. Dia
terkesan mulai yakin padaku. Lalu Ryan menjawab,”Tidak!”
Aku kembali
merengek-rengek. Tapi Ryan tetap menolak.
“Kalo begitu
aku akan menunggumu sampai selesai latihan basket,” tawarku.
“Ide bagus!
Selesai latihan aku akan mengantarkanmu pulang,” Ryan setuju.
Aku harus
menunggu Ryan latihan basket. Tidak masalah, meskipun panas-panasan tapi asik
juga. Aku jadi bisa liat Ryan dengan beberapa pose-pose keren ketika dia main
basket yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Meskipun aku agak kecewa
padanya, tapi kalau melihatnya seperti ini aku benar-benar merasa dialah Romeoku.
Tapi...aku
diculik lagi!!! Singkat waktu aku sudah berada di dalam mobil dan duduk di
sebelah Romeo. Meskipun tidak sempat berteriak memanggil Ryan, tapi Ryan
melihat dengan jelas kalau aku diculik dan aku yakin Ryan akan menyelamatkanku.
Mobil melaju kencang disusul motor Ryan yang juga melaju kencang. Aku jadi
terharu menyaksikan kejadian ini.
“Siapa yang di
belakang itu?” tanya Romeo.
“Romeoku,”
jawabku.
“Ryan?”
tanyanya lagi.
“Ya,” kataku
mantap. “Itu Ryan. Dia akan mencincangmu karena telah menculikku. Ryan tidak
akan mengampunimu...”
“Oh ya?”
“Ya!”
“Kau mau ice
cream?”
Akhirnya aku
ditraktir ice cream lagi. Meskipun kali ini ice creamnya lebih besar, berlapis
coklat batang, dan sungguh menggiurkan, tapi aku tidak menghiraukannya. Aku
gelisah menunggu kemunculan Ryan yang akan menghajar Romeo menyebalkan ini
karena telah menculikku lagi.
Ryan datang.
Dengan gagahnya dia berjalan. Jantungku sempat berdegup karena kagum. Dia
seorang Romeo sungguhan. Tanpa kata-kata dia menarik tanganku dan mengajakku
pergi. Meninggalkan Romeo aneh yang
hanya bisa terpaku dihadapan ice cream spesialnya. Aku dibonceng di motornya.
Ini pertamakalinya aku naik motor dengan Ryan. Padahal dia pacarku dan kami
sudah pacaran dari sejak lama. Meskipun tidak baik bercakap-cakap ketika
mengendarai motor, sedikit pertanyaan setelah peristiwa tadi rasanya tidak
apa-apa.
“Sekarang kita
kemana?” tanyaku.
“Mengantarmu
pulang,” sahut Ryan.
“Yang tadi
itu...tidak adakah sedikit pelajaran, semacam pukulan...hantaman...atau
apalah...untuk orang yang telah menculikku?”
“Tidak perlu!”
jawab Ryan singkat.
“Kenapa?”
“Kekerasan
tidak akan membuatku menjadi pahlawan”
“Ya, kau
pahlawanku”
“Kau tidak
akan aku serahkan pada siapapun”
Aku tersenyum
bahagia. Aku benar-benar yakin bahwa Ryan adalah Romeoku. Aku memeluknya dari
belakang dan berbisik,”Romeo...”
Kisah cintaku
ternyata tidak harus sama persis dengan kisah Romeo dan Juliet yang dramatis
itu. Contohnya kisah yang berakhir dengan iringan air mata, sama sekali tidak
menyenangkan. Setidaknya dalam kisah cintaku ada senyuman disetiap lembarannya.
Aku bisa menerima kisah cinta yang seperti ini dan seorang Romeo yang selalu
setia untukku. Tak selamanya hidup selalu membosankan karena suatu saat hal-hal
yang benar-benar diimpikan akan terwujud, jika ada rasa percaya. Aku
mencintaimu Romeoku.
Langganan:
Postingan (Atom)