CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 20 April 2013

Jam Lucu untuk Mempercantik Blog









Takdir Ini

Sejak lahir aku tak pernah sendiri. Selalu bersama Gold, kembaranku. Hingga kini aku tak pernah berpikir untuk berpisah dengannya. Aku sungguh sangat mencintainya dan aku takut perasaan ini terhalang oleh hubungan darah. Dosakah aku jika aku mencintainya sepenuh hati?
Enambelas tahun terlewati dan aku masih bersamanya. Perasaanku padanya juga masih sama, tak berubah sedikitpun. Entah dia tau atau tidak, perasaanku padanya bukan hanya sebatas rasa cinta pada saudara tapi lebih dari itu. Aku jatuh cinta pada kembaranku sendiri dan aku bahagia dengan perasaan ini.
Aku tau Gold sudah punya pacar dan dia sangat menyayangi pacarnya. Namanya Yui, cantik, rambutnya ikal, pintar dan tentu saja aku sangat membencinya. Aku tak bisa menerima kenyataan yang seperti ini. Yang aku mau, Gold selalu bersamaku, bukan dengan Yui. Aku takut Gold akan pergi jauh meninggalkanku.
Entahlah mengapa setiap berjumpa dengan Yui aku tak pernah baik padanya. Hawa dan auraku mendadak berubah jelek bila di dekatnya. Aku akui, aku memang jahat sekali padanya. Aku selalu menyakitinya. Mungkin aku terlalu cemburu padanya, mungkin aku iri padanya atau mungkin aku memang sangat tidak menginginkannya menjadi pacarnya Gold.
Di sekolah, saat jam istirahat, aku berpapasan dengan Yui. Aku menariknya hingga ke gudang sekolah.
”Lepaskan!!!” Yui berteriak padaku.
Aku melepaskan tangannya dengan sedikit gaya keangkuhanku. ”Diam dan dengarkan aku!” aku balas membentaknya.
Yui terdiam dan matanya menatapku dengan mata yang merah, nafasnya panas karena dia juga sangat marah padaku.
”Aku gak suka kamu jadi pacar kakakku. Kamu gak pantas dapetin hatinya. Aku gak akan pernah restuin hubungan kalian. Pokoknya hari ini kalian harus putus! Putus!!!”
”Apa alasanmu bicara seperti itu, hah?” Yui bertanya dengan senyum sisnisnya. ”Kau sendiri tak punya alasan untuk memisahkan aku dengan Gold. Aku mencintai Gold dan Gold mencintai aku. Apa salahnya dengan semua itu?”
Tiba-tiba lidahku beku mendengar semua kata-kata Yui.
Senyum Yui makin melebar ketika melihatku beku dihadapannya dan itu sangat merendahkan harga diriku. ”Oh, atau jangan jangan...kau menyukai saudaramu sendiri? Kau ingin agar Gold menjadi milikmu seutuhnya. Ha ha ha, konyol sekali!!! Kau egois!” kata Yui menusuk hatiku.
”Bukan seperti itu!” aku membentaknya. Karena tak bisa mengendalikan emosi, aku menendang kakinya lalu pergi dari gudang itu dengan rasa yang kacau. Aku menangis, sangat memalukan.
Seharian ini, setelah kejadian itu aku mengurung diri di dalam kamarku. Aku enggan bertemu Gold. Aku takut Gold akan marah padaku karena telah menyakiti pacarnya. selang waktu lima menit terdengar ketukan pintu kamarku. Mungkin itu Ibu yang khawatir dengan keadaanku atau itu Gold. Tapi aku mengacuhkannya. Aku tak mau bertemu seorangpun. Badanku lemas, mataku bengkak dan basah, aku pusing sekali. Semuanya berputar-putar di kepalaku. Aku memikirkan tentang semuanya. Rumit sekali!
”Pink...bangun...”
Aku merasakan lima buah jari menyentuh pipiku, dan jari itu milik Gold. Perlahan kubuka mataku, samar-samar...ada matanya, ada hidungnya, ada bibirnya, lengkap. Gold memandangiku, aku juga memandanginya. Aku gak tau harus bilang apa. Untuk beberapa menit kami tak bicara.
”Lihatlah pintumu...” Gold memperlihatkan pintuku yang rusak
”Rusak...”
”Ibu menyuruhku mendobraknya karena pintunya kau kunci dari dalam” kata Gold setengah tertawa.
”Tak perlu lakukan itu...”
”Apa masalahmu dengan Yui? Kalian bertengkar?” tanya Gold dengan lembut.
Dari dalam lubuk hatiku aku merasa sangat bersalah pada Gold dan juga pada Yui. Tak seharusnya aku seperti ini, benar yang dikatakan Yui, aku egois. Aku hanya mementingkan perasaanku tanpa memikirkan perasaan Gold dan Yui. Aku tak pernah memikirkan apa yang terbaik buat Gold. Aku menyesal. Aku benar-benar salah telah memendam perasaan terlarang ini.
Tak kuasa aku membendung air mataku. Aku menangis didepannya. ”Maafkan aku...”
Gold memelukku. Sudah lama aku merindukan pelukan ini. Aku ingin selalu disisinya, selama-lamnya, tapi mungkin tak bisa. ”Kau bodoh sekali...” kata Gold setengah berbisik. Dia melepaskan pelukannya. Dia memandangiku yang masih menangis.
”Maafkan aku...” aku mengulangi perkataanku.
”Tidak suka ya, jika aku pacaran dengan Yui?”
Aku masih menangis.
”Kau kenapa Pink? Pink yang aku kenal bukan seperti ini. Jelaskan apa masalahmu padaku!!!”
“Dari dulu, mungkin dari sejak lahir yang aku suka cuma kamu. Aku ga tau mengapa bisa begitu. Perasaanku ini bukan sekedar suka karena kau saudaraku. Tapi aku, aku...”
”...” Gold tersenyum.
”Aku cinta padamu!” Oh, apa yang telah aku ucapkan? Aku mengatakannya. Bagaimana dengan Gold? Apa yang akan ia ucapkan? Apa dia akan marah padaku?
”Aku juga cinta padamu, Pink!” ucapnya dengan jelas.
Apa aku tidak salah dengar? Gold mengatakan cinta padaku. Apa dia sungguh-sungguh? Atau hanya sekedar menghiburku?
“Hubungan darah itu tak bisa dipisahkan Pink. Kita sedarah dan sehati. Apa yang kau rasakan aku juga merasakannya. Kau mencintaiku dan aku mencintaimu. Tapi kau harus mengerti perasaan cinta tidak hanya sekedar mengikat dan terikat, tidak hanya memiliki dan dimiliki. Perasaan cinta juga harus memahami orang yang dicintainya. Membuat orang itu bahagia dan tersenyum.”
Habis dayaku untuk mempertahankan perasaan yang aneh ini. Kali ini aku harus merelakannya. Jika aku mencintai Gold, aku harus bisa membahagiakannya meskipun harus mengorbankan perasaanku. Aku ingin Gold bahagia. Tapi...apa takdirku memang seperti ini?
”Gold, aku hanya takut kau meninggalkanku...”
Gold menggeleng. ”Tak akan pernah! Aku berjanji akan selalu ada saat kau membutuhkanku”
Ya setidaknya aku akan berusaha menerima kenyataan hidup. Aku percaya Gold tak akan meninggalkanku, meskipun menempuh hidup lain bersama Yui, karena aku dan Gold sedarah dan sehati. Apa yang aku rasakan sama dengan apa yang ia rasakan.
Ketika aku sudah mengerti dan memahami semuanya, aku mencoba membenahi kesalahanku, mengenai salahku pada Yui selama ini.
”Maaf...” kataku sembari mengulurkan tanganku. Aku berharap dia mau baikan denganku.
Plak!!! Tangan Yui melayang kepipi kiriku. Dia menamparku dengan keras. Mungkin pipiku merah dengan cap tangannya.
”Sakit!” desahku
”Tendanganmu yang waktu ini juga sakit...” Yui tersenyum dan menjabat tanganku. ”Maafkan aku juga...” sambutnya.
Oh, inikah akhir dari semua ini. Tidak menyakitkan. Tidak membahagiakan. Tidak ada yang kehilangan. Dan aku bisa menerimanya.

Kalian yang Membuatku Menangis

Aku capek sekali, naik sepeda di hari sepanas ini, di bawah matahari yang lagi narsis-narsisnya di atas sana. “Panaaas!!!” keluhku berkali-kali, tapi sayang tak ada yang peduli. Keringat dari kepala sampai telapak kakiku keluar deras. Lama-lama aku bisa dehidrasi. Aku haus, ingin jajan, beli minuman kaleng atau jus di toko-toko yang sedang aku lewati. Aku melirik isi kantongku, cukup!
Aku berhenti di depan sebuah cafe kecil. Sudah lama tidak minum jus apel dan mencicipi kue-kue cantiknya. Ketika aku menjongkrak sepedaku, tiba-tiba aku mendengar suara yang tidak asing lagi.
“Miaaa...Miaaa...Miaaa...” teriak Rere memanggil namaku. Seorang gadis seumuran denganku itu seperti dikejar gajah berlari kearahku. Tidak jarang dia menabrak orang yang berjalan di depannya lalu minta maaf, berlari lagi, menabrak orang lalu minta maaf lagi, demikian seterusnya. Aku heran menatapnya, berdiri di depan pintu cafe tanpa ekspresi apapun.
Tak lama, Rere sudah sampai di depanku dengan nafas yang tidak beraturan. Dia berusaha menenangkan nafasnya lalu tersenyum padaku. Aku tak membalas senyumnya karena dia langsung memelukku. Aku gerah jadi aku tak suka dipeluk.
“Basah...” kata Rere.
“Itu keringatku, tenang saja tidak bau kok,” sahutku.
“Mia pake deodorankan?”
Tanpa menghiraukan pertanyaan ga penting itu, aku langsung masuk ke dalam cafe. Rere mengikutiku dari belakang. Aku memesan segelas jus apel. Rere juga memesan jus yang sama.
Rere memandangku lalu senyum-senyum sendiri. Dia menatapku terus menerus, aku merasa terganggu. Aku memalingkan pandanganku, melihat poster-poster yang terpajang di dinding cafe. Lima menit berlalu, tak sepatah katapun terucap dari mulutku. Selama itu Rere juga tak bicara, dia hanya senyum-senyum ga jelas. Sampai akhirnya pesananku datang.
“Mia...” Rere memancingku untuk bicara.
Aku diam saja, sibuk dengan jusku yang ingin segera kuhabiskan lalu pergi dari cafe ini.
“Mia marah ya?” tanya Rere.
Aku terpaksa berbohong. “Tidak!” jawabku singkat.
“Maafkan aku Mia...”
“Maaf?” tanyaku balik.
Mia memasang wajah memelasnya padaku, “Ya...maafkan aku...”
Aku benci sikap Rere yang bermanja-manja denganku. “Tak ada yang perlu dimaafkan, karena tak ada yang salah dan harus dipermasalahkan lagi. Aku capek!!!” jelasku setelah segelas jus di hadapanku telah habis sampai tetes terakhir. Aku mau pergi.
Rere dengan cepat memegang tanganku, matanya sudah basah. Dia menangis. Apa semua ini gara-gara aku? Seandainya saja aku pembunuh bayaran, aku akan segera pergi dan tidak memperdulikan lagi gadis yang menangis karena menyesali perbuatannya. Tapi aku sungguh tak tega. Aku duduk lagi, mengeluarkan tisu dari tasku dan memberikannya pada Rere. Aku menghela nafas, aku malu pada orang lain yang memandangi kami, aku pasti tertuduh menjadi orang yang menyakiti, padahal aku yang disakiti.
“Dera sudah cerita padaku. Dia memilihmu dari hatinya yang paling dalam. Tak usah diragukan. Aku tau dia orang yang seperti apa,” kataku dengan tenang.
Rere mengusap air matanya dan mendengarkanku dengan baik. “Tapi bagaimana dengan Mia?”
“Aku? Jangan khawatir! Aku gak akan mengganggu kalian. Tugasku di sekolah sangat banyak, PR ku juga menumpuk, aku tak akan sempat untuk mempermasalahkan hal semacam itu”
“Lebih baik aku putus saja. Aku ga enak sama Mia...”
“Jangan!!! Nanti aku yang gak enak padamu”
“Tidak! Lebih baik aku putus saja, aku gak mau Mia terus-terusan bersikap dingin padaku. Aku tau semua ini karena salahku. Aku jadian sama Dera, padahal aku tau dari dulu Mia suka sama Dera”
“Cukup!” Aku menghela nafas lagi. “Tenang saja. Aku ga tertarik sama cowok yang menyebut dirinya dengan namanya sendiri dan cengeng seperti Dera. Sekarang aku juga sudah tidak ada rasa apapun pada Dera.”
“Tapi kenapa Mia tadi mendiamkan aku, Mia marahkan?”
“Gak, aku cuma capek,” jawabku dengan senyum kecil di ujung bibirku. Mungkin itu bisa menenangkan keadaan, meskipun didalam hatiku masih berantakan dan tidak karuan.
“Benarkah?” tanya Rere sembari mempersembahkan senyum yang paling lebar yang pernah aku lihat.
Aku mengangguk. “Ayo pulang! Kalo mau, kau boleh boncengan disepedaku kita pulang sama-sama.”
Akhirnya, aku mengajak Rere pulang. Rere itu temanku sejak kecil, kami bertetangga, tapi beda sekolah. Dulu ketika SD aku masih satu sekolah dengannya. Dia anak yang cengeng makanya anak cowok senang sekali mengganggunya. Dia menangis, dan aku yang selalu menghiburnya. Selalu seperti itu. Hanya padaku dia mengadu, dan hanya aku yang berani melawan anak cowok yang mengganggunya. Tapi, itu dahulu kala.
Setelah aku SMP aku bertemu dengan Dera. Teman sekelasku yang selalu menceritakan masalah pribadinya padaku. Anak yang selalu punya masalah besar, atau dia sendiri yang memperbesar-besarkan masalah, semuanya diceritakan padaku. Cowok yang setiap minggu menangis dihadapanku karena putus asa dengan masalah yang dia hadapi. Cowok yang menyebut dirinya dengan namanya sendiri dan kadang membuatku merasa aku sangat dibutuhkan. Lama-lama, aku menerima Dera dengan apa adanya. Semua tentang dia, semuanya dan semuanya.
Sampai. Rere turun dari sepedaku dan berhenti menceritakan hal-hal yang dari tadi tak ku dengarkan karena pikiranku dipenuhi oleh huruf R-E-R-E dan D-E-R-A. Kami berpisah didepan pintu gerbang rumahnya. Aku mengayuh sepedaku pelan, hanya perlu 10 putaran roda saja, aku sudah sampai di rumahku.
Antara cinta dan persahabatan. Sebenarnya apa yang lebih diprioritaskan? Seandainya tak ada kekasih apa aku masih bisa hidup di dunia ini? Seandainya tak ada sahabat apa aku juga masih bisa hidup di dunia ini? Tanpa mereka, aku juga masih bisa hidup, karena merekalah yang membutuhkan diriku. Memang pada kenyatannya seperti itu.
Satu hari terlewati dan hari ini aku melihat hal yang tak perlu dicampur tangankan lagi. Sepasang kekasih yang menangis, Dera dan Rere. Mereka berpelukan dan menangis. Pemandangan yang membuat hatiku pilu. Tapi apa urusanku? Apa mereka menganis gara-gara aku? Aku rasa memang hobi mereka menangis.
Dua hari terlewati dan hari ini aku bertemu Rere di cafe yang sama. Aku memesan jus apel. Rere juga memesan jus yang sama. Wajahnya berseri-seri. Dia ceria sekali, lebih ceria dari yang biasanya.
“Kenapa?” tanyaku memulai percakapan.
Rere menggeleng lalu senyum-senyum. Aku tak mengerti, tapi aku biarkan saja. Aku juga tak begitu tertarik mendengarkan jawaban dari pertanyaanku tadi. Mungkin saja dia habis berkencan dengan kekasihnya atau mendapatkan hadiah dari kekasihnya. Bukan urusanku.
Seperti biasa Rere bercerita banyak. Dia memang cewek yang banyak omong. Mau tak mau aku harus mendengarkannya. Tapi anehnya sedetikpun dia tidak bercerita tentang Dera.
Tiga hari terlewati dan hari ini aku bertemu Dera di dalam kelas, termenung sendiri dibangkunya. Seperti ada masalah yang manyangkut di ubun-ubunnya.
“Kenapa?” tanyaku memulai percakapan.
Dera menggeleng.
“Kau kenapa?” tanyaku sekali lagi.
“Putus!!! Dera diputusin sama Rere. Padahal sebelumnya kami tak ada masalah apa-apa”
Aku kaget setengah pingsan. “Apa?” aku memastikannya.
“Dera diputusin sama Rere...”
“Kenapa diputusin?” tanyaku
Dera mengangkat bahunya tanda tak mendapat jawaban dari Rere.
Aku tertunduk lemas dan menatap Dera sendu. “Jangan menangis, semuanya bisa diperbaiki”
Dera menggeleng lagi. “Dera gak akan nangis lagi. Kata Rere, Mia gak suka cowok yang cengeng”
Otakku berputar-putar. Apa Rere berkorban demi aku? Aku menghela nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Aku menatap Dera dengan tajam, satu hal lagi yang ingin aku ucapkan pada Dera. “Aku juga gak suka sama cowok yang menyebut dirinya dengan nama.”
“Aku baru sadar. Aku suka Mia, bukan Rere,” kata Dera tegas.
Dera mengerti apa maksudku. Tapi aku sudah tak berharap lagi untuk mendapatkan cinta, kasih sayang, perhatian atau apalah itu, dari orang yang bernama Dera. Satu-satunya yang aku inginkan adalah secepatnya bertemu Rere dan bilang padanya tak perlu melakukan hal seperti ini.
Sepulang sekolah aku kerumah Rere tapi tak bisa bertemu dengannya. Rere pergi keluar kota. Tinggal bersama ayahnya yang tugas diluar kota. Kenapa meninggalkan aku dengan masalah seperti ini? Apa sahabat bisa berkorban apa saja demi sahabatnya? Rere, seharusnya tidak seperti ini. Sudah aku jelaskan aku tidak suka cowok yang menyebut dirinya dengan namanya dan aku tidak suka cowok yang cengeng seperti Dera. Tapi kau merubahnya demi aku dan untuk aku.
Hari ini, setelah sekian lamanya aku tak menangis, aku menangis sejadi-jadinya. Manusia memang harus menangis. Termasuk aku!

Cinta Jangan Kau Pergi

Cinta tak perlu dikejar. Cinta juga tak perlu dicari. Karena orang yang selama ini membuatku terkagum-kagum berada satu kelas denganku. Awalnya biasa saja, aku bukan tipe cewe yang memandang cowo dari fisik, jadi cowo keren seperti dia bagiku biasa-biasa saja. Semenjak hari itu, Selasa dua minggu yang lalu, ketika hujan turun sepulang sekolah. Teman-teman yang lain rela basah-basahan untuk pulang, tapi aku tidak. Aku menunggu hujan reda di emperan ruang kelasku. Hingga hanya aku dan dia yang tersisa menunggu hujan mengijinkan pulang.
“Siapa namamu?” dia bertanya saat itu.
Aku heran dengan pertanyaannya. Bukannya aku tak mendengarnya tapi aku kesal pada orang yang tak ingat nama teman sekelasnya. Aku diam saja.
“Namaku Joker...kau kenal aku kan?” Dia malah memperkenalkan dirinya setelah aku diamkan beberapa menit. “Panggil aku Joe,” katanya kemudian.
“Orang aneh!”
“Apa??? Namamu Aneh? Ha...ha...lucunya...” dia meledekku.
Terpaksa aku turuti apa maunya, aku jabat tangannya dan memperkenalkan diri. “Namaku Kartika. Aku sudah enam bulan menjadi teman sekelasmu, tapi baru kali ini aku bicara padamu dan parahnya kau tak ingat namaku. Ingat baik-baik ya...kar...ti...ka...!!! Aku, Kartika.”
Dia tersenyum. “Kar...ti...ka...Kartika! Ya, aku ingat!!!”
Aku menatapnya jelas. Memang keren. Pantas saja teman-teman cewe di kelasku banyak yang suka Joker. Tapi, apa aku juga suka orang ini?
Gerimis, lumayan lama aku dan Joker menunggu hujan reda. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, ternyata Joker asik juga diajak cerita. Dia bercerita banyak padaku, meskipun bukan cerita serius, tapi aku suka. Dia sungguh menarik.
“Kartika...aku panggil kamu Ica aja ya...” Terakhir Joker berkata seperti itu padaku.
“Terserah...” jawabku.
Hujan berhenti. Joker pulang. Aku masih terpaku di emperan kelas sendirian. Perasaan apa ini? Kenapa begitu menyenangkan? Mungkinkah aku mulai tertarik pada Joe?
Ica, kalo soal nomer empat pake rumus yang mana?” tanya Joker saat jam istirahat
Sejak saat itu dia memanggilku Ica. Sejak saat itu pula dia menjadi akrab denganku. Perubahan singkat ini tentu saja membuat efek pada teman-teman kelasku. Mereka pikir aku dan Joe pacaran.
“Woi!!! Jangan bengong aja! Nanti ayam tetangga pada mati lho...ha...ha...Pake rumus yang mana?” Joe bertanya sekali lagi, memecah lamunanku tentang dirinya.
“Oh...ya...pake rumus yang ini...begini...lalu begini...” aku menjelaskan penyelesaian soal Matematika yang dia tanyakan.
Joe manggut-manggut, mungkin mengerti, mungkin juga dia bingung. Tapi aku senang jika setiap hari seperti ini. Aku susah mengakuinya, aku benar-benar merasakan perasaan yang beda, lain dari pada yang lain. Aku jatuh cinta!
Hari-hari berlalu dengan indahnya. Tentu saja semua itu karena Joe. Tiap pagi dia selalu menjemputku untuk pergi kesekolah, pulang bareng, ke bioskop, jalan-jalan, beli ice cream, dan lain-lain. Sungguh menyenangkan.
“Kartika, kamu sudah jadian ya sama Joker?” tanya Ririn padaku.
Mendengar pertanyaan Ririn aku jadi salah tingkah. “Belum...” aku menggeleng.
“Kalo belum, artinya kalian mau jadian...aaa....aaa...” kata Olip menggodaku.
Ririn dan Olip menertawakanku. Mukaku jadi merona.
“Kartika beruntung banget ya bisa deket sama Joker. Padahal aku juga naksir Joker. Ya, tapi kalo Joker sama Kartika aku ga apa-apa sih...aku mengalah deh...ha...ha...” Ririn menerangkannya padaku.
“Aku juga naksir Joker,” kata Olip.
“Siapa sih yang ga naksir cowo sekeren Joker??? Ha...ha...ha...” Ririn tertawa.
Teman-temanku selalu berkata seperti itu padaku. Bukannya mereka marah karena aku dekat dengan Joe tapi mereka jujur dan mengaku suka pada orang yang juga aku sukai. Mereka benar, aku memang beruntung karena bisa akrab dengan Joe. Semuanya membuat aku tambah optimis saja, dalam waktu dekat Joe akan menyatakan perasaannya padaku. Aku menunggu itu Joe.
Pagi awal dari hari anehku. Joker tak menjemputku. SMS yang aku kirim juga tak ada balasan. Akhirnya aku berangkat sekolah sendiri. Sampai di sekolah aku tak bertemu dengan Joker. Hari ini dia bolos tanpa keterangan. Aku jadi merasa sepi, meskipun ada Ririn dan Olip yang menemaniku bercerita, tapi tanpa Joker hari ini, rasanya lain...
Sudah tiga hari Joker bolos sekolah. Aku juga tak bisa menghubunginya. SMS yang aku kirim juga tak pernah dibalas. Ingin aku pergi kerumahnya tapi aku tak punya alamat rumahnya. Teman-teman yang lain juga tidak tau alamatnya. Aku putus asa. Joker kemana? Kenapa tidak memberiku kabar apa-apa? Apa dia tidak sadar kalau aku sangat rindu padanya?
Doaku terkabulkan. Joe sekolah lagi. Tanpa menunggu aba-aba aku langsung berlari menghampirinya. “Joe, kamu kenapa sih?” aku membentaknya, berharap dia akan menjelaskan mengenai semuanya.
“Pagi-pagi jangan bentak-bentak dong!!!” Joe balas membentakku.
“Joe kamu kok bolos sih??? Sudah tiga hari ini...kamu kenapa? Terus, kalo aku telepon kenapa ga nyambung-nyambung?” aku lontarkan segudang tanyaku.
Joe menatapku marah. “Kenapa? Hah...Apa urusanmu? Kartika, jangan mentang-mentang selama ini kita dekat, kamu jadi salah sangka padaku”
“Apa maksudmu...?”
“Aku menganggapmu temanku. Cukup. Tidak lebih!!!” Joker berteriak keras. Teman-teman sekelas jadi mengerumuni kami, menjadikan kami tontonan seru yang siap menjadi gosip selanjutnya.
Aku diam. Aku sedikit kurang mengerti apa maksudnya. Padahal aku tak pernah mengatakan hal itu padanya. Aku hanya bertanya dia kenapa bolos sekolah. Sungguh aku tak tahan lagi, aku jadi ikutan marah padanya. “Hey...aku benar-benar tak mengerti. Aku tak pernah bilang seperti itu padamu. Ha...ha...lucu sekali! Aku hanya peduli padamu,” kataku.
“Tak pernah kau bilangpun, aku sudah tau itu. Kau pasti suka padaku!”
“Bukan itu masalahnya, kenapa kau bolos sekolah selama tiga hari? Apa kamu sudah bosan belajar?”
“Diam!!! Kau tak perlu turut campur apa masalahku! Berhenti untuk mendekatiku karena kamu bukan tipeku”
Aku ingin balas membentaknya tapi Ririn dan Olip cepat-cepat menenangkanku. Aku tidak habis pikir apa yang menyebabkan Joker seperti ini. Lebih dari semua itu, aku sakit hati, dia menolakku, membuangku. Aku bukan tipe cewe yang disukainya. Dia sungguh membuatku bingung. Kenapa berubah secepat ini?
Entahlah, apa Joker masih marah padaku atau tidak. Dia selalu menghindar dariku, tak pernah bercerita padaku lagi. Satu hal yang semakin membuatku kecewa dia tak lagi memanggilku Ica. Apa salahku padanya? Seingatku tak terjadi masalah apapun sebelum dia bolos. Aku bingung setengah mati. Aku tak bisa mengerti tentangnya.
Siang itu, sepulang sekolah, ada seorang cowo berseragam SMA lain menghampiriku. Aku tak mengenalnya. Tapi dia benar-benar encariku dan ingin menceritakan sesuatu hal penting padaku.
Aku Andre, temannya Joe. Kamu Ica kan?” dia memulai pembicaraan.
Aku mengangguk. “Kau bisa menceritakan tentang Joe padaku” tanyaku mendesaknya.
“Ya, memang itu yang akan aku ceritakan. Joe sudah banyak cerita tentangmu padaku. Dia suka kamu Ca...”
Aku terdiam.
“Tapi Joe sudah punya pacar. Selama ini dia pacaran jarak jauh. Joe sayang banget sama pacarnya. Tapi ada kamu yang membuatnya bimbang akan dua pilihan. Akhir-akhir ini mereka sering bertengkar. Hampir putus...Tapi Joker memutuskan untuk baikan dan minta maaf sama pacarnya.”
“Joe tak pernah cerita apa-apa padaku. Aku juga ga tahu kalo dia suadah punya pacar. Ini semua gara-gara aku. Aku selalu berharap lebih padanya...aku menyusahkannya...” Tanpa aku sadari aku menangis.
“Dia bolos tiga hari karena minggat dari rumah dan tinggal dirumahku. Mungkin dia stres karena hubungan keluarganya sedang tidak baik. Semenjak itu dia jadi bersikap tak jelas dan aneh padamu. Dia berusaha menghindarimu karena dia sudah membuat pilihan yang tak akan diingkarinya. Mungkin untuk beberapa hari ini saja tapi seiring berjalannya waktu dia akan kembali seperti biasa lagi.”
Cukup sudah penjelasan yang telah membuatku mengerti akan hal ini. Entahlah, apa aku akan membiarkan Joe pergi tanpa memberiku apa-apa lagi? Aku mengerti cinta itu tak perlu dikejar. Cinta juga tak perlu dicari. Karena cinta akan datang lagi. Dan tak ada yang bisa merubah hidupku meskipun cinta yang aku percaya sekalipun. Aku akan memenangkan hidupku. Aku percaya ada cinta untukku. Tapi kenyataannya cinta itu lari dariku.
Hari ini langit nampak mendung. Hujan dihari Selasa sepulang sekolah. Aku menunggu hujan reda dengan seseorang. Seseorang yang tak jauh tapi menjauhi hatiku. Kenapa sampai sekarang aku masaih terikat rasa olehmu, Joe?

Bebaskan Aku

Kriuuuk!!! Nyam...nyam...nyam... Kriuuuk!!! Kriuuuk!!! Nyam... Begitulah, sepulang sekolah aku hanya mengunci diri di kamarku dan menghabiskan snack yang kubeli satu per satu. Bungkus taro, citato, lays, dan sea crunch, berhamburan dilantai tanpa kupedulikan. Aku melirik tasku, masih ada sepuluh snack lagi, lalu aku kembali memasukkan makanan ringan itu kemulutkku. Nyam...nyam...nyam...
Sebenarnya aku punya program diet dan pantang melakukan hal terlarang seperti ini. Tapi aku punya alasan. Aku stress! Kata temanku obat mujarab penghilang stress adalah makan. Bayangkan makanan itu adalah orang yang kita benci dan habiskanlah agar rasa benci itu masuk ke perut. Menurutku ini memang benar-benar ampuh.
Setelah menghabiskan semuanya aku minum air sebanyak-banyaknya. Kata Mamaku setelah makan makanan ringan agar tidak radang tenggorokan aku harus minum air. Perutku penuh dengan kebencianku. Oleh sebab itu aku jadi mengantuk dan tertidur.
Malam harinya Mama memarahiku karena tahu aku telah menghabiskan banyak snack hari ini.
“Wina, Mama kan sudah bilang berulang kali, jangan makan snack-snack kayak begini. Kamu makannya banyak lagi. Nanti kamu bisa sakit”
“Tenang aja Ma...tadi Wina dah minum air yang banyak kok”
“Walaupun sudah minum air tapi kalo makan snack sebanyak ini tenggorokanmu bisa sakit” Mama lalu meraba bagian leher dan dahiku. “Tuh kan...panas...kamu sakit kan jadinya. Udah sekarang cepat pergi tidur. Biar besok bisa ke sekolah”
Tanpa perlawanan lagi aku masuk kamar dan berbaring di tempat tidurku. Sayangnya tadi siang aku sudah tidur, jadi untuk tidur cepat malam ini rasanya sia-sia saja. Dalam situasi tak bisa tidur seperti ini kembali memancingku untuk memikirkan hal-hal bodoh yang seharusnya tak perlu dipikirkan lagi. Tapi tetap saja tak bisa aku abaikan.
“Aku bingung tau sama pacarku. Sebenarnya pacarnya itu kamu atau aku. Setiap hari pasti hanya ada namamu...Wina...Wina...Wina...dan Wina...BT tau gak! Aku kira kita temen, sahabat, atau apalah namanya itu...Tapi kamu udah bikin aku kecewa...kecewa!!!” Kata-kata itu terngiang-ngiang lagi. Karin marah padaku karena Dira selalu ingin membuat Karin menjadi sepertiku. Mereka pacaran. Menurutku mereka pasangan yang serasi secara fisik. Tapi kehadiranku ini terlalu mengganggu mereka. Apa lagi terhadap Karin, dia teman sebangkuku. Aku sangat merasa bersalah padanya. Semua ini gara-gara Dira, karena dia seperti ini aku yang kena getahnya.
Apa sih yang Dira lihat dari diriku? Dalam skala fisik 10 aku hanya mendapat nilai 5,5. Dari segi otak aku juga termasuk siswi yang biasa-biasa saja, ulangan tertinggiku hanya 80, tidak lebih. Tapi kenapa dia seakan selalu menghantuiku? Selalu membuat aku sial seperti ini.
Lewat tengah malam, mataku masih terang. Aku belum bisa tidur. Parahnya aku mulai merasa badanku panas, tenggorokan yang sakit dan gejala tidak enak badan lainnya. Akhirnya aku tertidur juga membawa semua rasa ini yang harus aku tanggung sendiri.
Pagi ini terang saja aku tidak sekolah. Aku sakit. Mamaku sudah membuatkan surat sakit untuk ijin tidak sekolah yang ditipkan pada Karin. Karin lalu meneleponku.
“Wina...kamu beneran sakit?” tanya Karin dari seberang sana.
“Ya...” jawabku lemas.
Selang waktu Karin terdiam lalu dia bicara lagi,” Maaf ya Win. Kemarin seharusnya aku ga sekasar itu padamu. Setelah aku pikir-pikir memang semua ini salahku. Mungkin memang aku ma Dira gak cocok lagi. Tapi...sudahlah...”
“Dira yang brengsek!” kataku kemudian.
“Haaa?” Sepertinya Karin jadi terkejut setelah perkataanku tadi. “Na, kita masih sahabatankan?”
“Ya tentu saja...” jawabku kemudian.
Lalu Karin menutup teleponnya. Aku sedikit lega karena setidaknya Karin bisa menerimaku lagi. Karin yang minta maaf padaku, padahal aku yang jadi biang masalahnya. Terserahlah...aku mau istirahat. Kepalaku lama-lama makin sakit. Oh, menderitanya hidupku.
Keesokan harinya aku agak mendingan. Enggan rasanya pergi ke sekolah apalagi untuk bertemu Dira. Dengan terpaksa pagi ini aku berangkat ke sekolah karena tidak ingin ketinggalan pelajaran lebih banyak lagi.
Sialnya orang pertama yang aku jumpai setibanya di dekolah adalah Dira. Aku menahan napas ketika Dira menatapku. Aku segera pergi menghindar. Tapi Dira mengikutiku. Aku kumpulkan segenap keberanianku dan berhenti di sebuah lorong kelas sekolahku.
“Apa maumu?” tanyaku setengah berteriak. “Puas???” bentakku lagi. “Gara-gara kamu aku hampir saja ditinggal sahabat. Kenapa kau selalu menyusahkan aku? Apa salahku?”
“Win kamu sudah sembuh?” Dira malah bertanya padaku.
“Haaa?” Aku sedikit bingung dengan pertanyaannya.
Dira lalu meraba dahiku, “Panas...” katanya kemudian.
Aku menatapnya aneh. Lalu aku pergi tanpa mempedulikannya lagi. Aku segera mencari Karin di kelas.
“Wina...” Karin memanggilku ketika aku sampai di dalam kelas.
Aku segera menghampirinya dan duduk di kursiku.
“Kemarin aku nangis gara-gara sakit hati. Aku diputusin Dira. Padahal awalnya aku yang mau putusin dia. Tapi sekarang aku gak sedih lagi. Kamu bener Win, Dira emang jahat! Untuk apa aku nangis-nangis gara-gara dia. Sekarang dia udah punya pacar baru. Namanya Rena, anak kelas sebelah. Gila gak tuh...si Dira!!!” jelas Karin.
Aku diam saja mendengarkan cerita Karin. Dalam otakku tak henti-hentinya berpikir, kenapa ada orang seperti Dira. Setelah Karin, apakah cewek barunya itu akan menghukumku juga. Apakah harus selalu bersangkutan dengan kehidupanku. Padahal aku tak pernah mengganggu kehidupan Dira, apalagi tentang pacar-pacarnya itu.
Hari berlalu dan ternyata tak begitu menyulitkan kehidupanku. Aku bisa bernapas tenang tanpa Dira yang selalu memberiku masalah-masalah gila atau tentang pacar-pacarnya yang selalu menuntutku untuk menjauhi Dira padahal aku tak ada hubungan apa-apa dengan Dira.
“Win, nanti sore kita jadi nonton kan...?” tanya Karin pada suatu hari lewat telepon.
“Ya...nanti aku tunggu di tempat biasa,” jawabku.
“Siiip!!!”
Hari ini aku mau nonton konser. Bukan band favoritku, tapi ini band kesukaannya Karin. Meskipun demikian aku tetap ikut karena aku bosan diam dirumah. Ketika sudah siap, aku menunggu Karin menjemputku di halte tempat menunggu angkutan umum. Lama aku menunggu Karin, ini sudah jadi kebiasaannya yang menyebalkan.
Tiba-tiba saja seorang gadis menghampiriku. Aku kenal gadis ini, namanya Rena. Setahuku dia sekarang pacarnya Dira. Apa yang akan terjadi sekarang? Tanyaku dalam hati.
“Ini ya...yang namanya Wina...” kata Rena sinis di depanku.
Aku diam saja, mencoba tidak memperhatikannya.
“Eh, kalo orang bicara tu...perhatiin donk!” bentaknya. “Sopan sedikit!!!”
“Sopan? Siapa yang gak sopan?” tanyaku.
“Kamu!!! Dasar cewek murahan, sukanya merebut pacar orang!” katanya lantang dan membuatku mulai naik darah.
“Siapa? Salah orang kali...” kataku menahan emosi.
“Kamu!!! Setiap hari aku selalu dibanding-bandingi dengan kamu. Apa yang aku lakukan untuk Dira selalu salah. Apa yang aku coba berikan untuk Dira selalu salah. Selalu harus seperti kamu...”
“Aku?”
“Ya!!!”
Lalu Karin datang menghampiri kami. Terang saja dia heran kenapa ada perdebatan seperti ini. “Ada apa Win?” tanya Karin pelan.
Rena memalingkan penglihatannya pada Karin dan menarik tangannya. “Karin...kamu gak tau ya, gara-gara Wina dulunya kamu jadi putus sama Dira dan sekarang gara-gara Wina juga...aku jadi putus sama Dira. Semua gara-gara dia!!!” kata Rena sambil menuding-nuding wajahku.
Karin hanya diam saja dan menatapku. Aku tak tau apa yang Karin pikirkan. Apakah dia akan salah sangka karena hasutan Rena? Tapi akhirnya Karin memperlihatkan matanya yang mulai merah berair, dia menangis dan kembali menyalahkan aku. Tak tahu harus bagaimana, aku menyetop sebuah angkutan umum lalu pulang meninggalkan semua yang selalu menyalahkan aku.
Di sekolah rasanya semua orang ingin membunuhku. Entahlah apa yang sudah Rena ceritakan tentang aku pada semua makhluk di sekolah ini. Tak ada teman, tak ada sahabat, tak ada satupun orang yang mengajakku bicara. Karin tak mau bicara padaku. Dia terlanjur salah sangka. Sudah berjuta-juta penjelasan aku utarakan padanya, tapi tetap saja tak mau mengerti. Aku menghela napas dalam-dalam. Aku ingin melarikan diri keluar angkasa.
Jam pelajaran usai. Semua orang sudah pulang. Aku sendiri duduk termenung memikirkan apa yang harus aku lakukan untuk terbebas dari semua ini. Apa yang salah dari diriku ini? Semua berawal sejak tahun ajaran baru kenaikan kelas dua yang membuat aku satu kelas dengan Dira. Awalnya dia selalu mendekatiku dan entahlah dia menyimpan perasaan apa padaku. Selalu seperti itu. Aku tak pernah menghiraukannya, aku tahu, aku tak begitu pantas dengan cowok idola di sekolahku, dan selain itu aku tahu dia sudah punya pacar. Semenjak itu hidupku tak pernah tenang. Pacar-pacarnya selalu menyalahkan aku, termasuk Karin dan Rena. Aku sudah tidak kuat lagi dengan semua ini.
Dari balik pintu ada seseorang yang tak pernah aku harapkan kehadirannya. Dira datang dengan santai sambil menenteng jaketnya yang tidak dia kenakan.
“Belum pulang Win?” tanyanya padaku.
“Aku mau bicara sebentar denganmu,” kataku tegas.
Dengan cepat Dira menghampiriku lalu duduk di atas mejaku. “Tentang apa?” tanyanya lagi.
“Aku gak pernah mengerti apa sebenarnya maumu. Aku juga gak terlalu ingin tau tentang itu karena itu semua bukan urusanku. Tapi jelaskan pada pacarmu atau mantan-mantanmu itu kalo kita berdua tak ada hubungan apa-apa.”
“Lalu...”
“Mereka semua menyalahkan aku dan bilang aku yang merebutmu. Padahal sama sekali aku tak pernah ada sangkut pautnya dengan kehidupanmu. Mereka merasa tersaingi dengan keberadaanku dan selalu kau banding-bangdingkan antara aku dan mereka”
“Hmm...aku menjadikanmu contoh untuk mereka”
“Omong kosong!”
“Bener kok...”
“Aku mau kau memperbaiki imageku di sekolah ini. Karena semua gara-gara kau teman-temanku menjauhiku”
“Oh ya? Ini semua gara-gara aku?”
“Ya!”
“Baiklah akan segera ku bereskan...maafkan aku sebelumnya”
“Maaf saja tidak cukup,” kataku lalu pergi meninggalkan kelas.
Setidaknya aku sudah sedikit tenang. Aku berharap Dira bisa medengarkan perkataanku dengan baik. Aku hanya ingin teman-temanku kembali lagi. Karena memang benar aku tak ada salah apa-apa.
Perubahan yang cepat. Dira memegang perkataanku. Hidupku kembali seperti semula. Karin juga sudah seperti sediakala. Aku senang Karin bisa mempercayaiku lagi. Aku tak ingin teman-temanku kembali menjauh hanya karena salah paham tentang aku dan Dira.
“Terimakasih,” kataku pada Dira ketika aku bertemu dengannya di toko buku.
Dira hanya manggut-manggut. “Aku gak tau sebenarnya apa yang kamu pikirkan tentang aku...” kata Dira lalu melemparkan sebuah buku padaku.
“Aku jaga gak tau apa yang sedang kamu pikirkan...” kataku lalu aku dilempari dua buku dan terpaksa aku yang membawakan buku-buku ini.
“Sebenarnya aku suka kamu,” kata Dira dengan santainya. Dia lalu memberikan aku lima buah buku lagi dan menyuruhku membawakannya.
Mendengar perkataanya barusan aku hanya bisa diam. Aku memperahatikan buku-buku pilihannya yang mungkin akan dibelinya semua.
“Tapi sayangnya...kau selalu menghidar dariku...Kenapa Win?”
Aku tetap diam.
“Lalu aku mencari-cari orang yang seperti kamu...tapi gak ada. Mereka semua gak bisa gantiin kamu”
Bibirku makin beku.
“Tolong...” kata Dira lalu memberiku tiga buah buku lagi dan menyuruhku untuk membawakannya.
“Akan kau beli semua?” tanyaku pada Dira dan akhirnya aku bisa bicara.
Dira mengangguk. “Cukup untuk aku habiskan diwaktu liburan nanti”
Keluar dari toko buku Dira menanyakan sesuatu padaku. “Wina kamu mau kan jadi pacarku?”
Tentu saja aku diam mengingat semua yang telah aku alami dan disalahkan oleh mantan pacarnya. Aku tak bisa menjawab. Mungkin ini membuat Dira menunggu. Aku menahan napasku berharap Dira akan memalingkan pembicaraan dan membuatku sedikit lega.
“Kalau kau diam artinya mau,” kata Dira yang sama sekali tak pernah aku bayangkan. “Mulai sekarang kita pacaran,” katanya lalu meninggalkan aku yang hanya bisa beku.
Semenjak itu aku jadi pacarnya Dira. Meskipun sudah aku tolak tapi tetap saja statusku adalah pacarnya Dira. Banyak temanku yang protes. Semua yang aku takutkan bermunculan satu persatu. Tapi pada akhirnya semua terlewati dengan baik-baik saja. Dira sudah dapat apa yang dia inginkan yaitu aku. Mungkin dengan begini aku tak akan pernah dipersalahkan lagi karena dituduh merebut pacar orang. Sekarang Dira pacarku jadi aku tak pernah merebut siapa-siapa lagi.

Kaulah Romeoku

Apa impian gadis SMA yang berumur 16 tahun pada umumnya? Kalau aku banyak sekali! Salah satunya aku ingin punya seorang pacar seperti Romeo dan menjalani kisah cinta yang ekstrim meskipun nantinya berakhir sad ending. Tapi aku benar-benar ingin menjalani kisah cinta yang dramatis itu.
Meskipun sekarang aku sudah punya pacar yang baik hati, tapi aku belum pernah menjalani kisah cinta yang dramatis. Kehidupan yang biasa-biasa itu membosankan. Aku percaya suatu saat nanti aku pasti bisa menjadi Juliet dan pacarku menjadi Romeo.
Pacarku namanya Ryan. Cowok pintar, sopan, polos, agak pendiam, tidak sombong dan rajin menabung. Satu hal yang paling aku suka darinya dia orang yang nekat dan berani. Atas dasar semua itulah aku menerimanya ketika dia menyatakan perasaannya padaku. Dan aku pacaran. Ternyata perasaan cinta yang meledak-ledak itu tak bertahan lama, yang ada sekarang hanya kisah cinta yang baik-baik saja tanpa masalah. Padahal aku ingin variasi. Entahlah ini semua karena siapa, tapi menurutku ini gara-gara pacarku.
“Mau pulang?” tanya Ryan ketika jam pulang sekolah.
Aku memang mau pulang karena hari ini aku tidak ada ekstra. Tak biasa dia menanyakan hal semacam itu, mungkin saja hari ini dia mau mengantarku pulang. Aku mengangguk dengan penuh harapan.
“Ya, pulang dah sana. Aku hari ini ada ekstra Matematika,” katanya kemudian.
“Ya, aku mau pulang...” kataku menerima kekecewaan. Aku merasa bodoh sekali berharap diantar pulang oleh pacarku sendiri. Menyebalkan!
Ryan tersenyum dan melambaikan tangannya. Aku senyum padanya meskipun dalam hatiku ingin memaksanya untuk mengantarku pulang.
Lama sekali aku menunggu angkutan umum. Lama!!! Tiba-tiba saja sebuah mobil mewah berhenti di depanku. Dari mobil itu turun dua orang pria berpakaian serba hitam lengkap dengan kaca mata hitam seperti agen rahasia di film-film. Aku heran melihatnya karena aku tidak pernah melihat hal semacam ini sebelumnya dalam kehidupan nyata.
Aku diculik! Dengan cepat dua orang tak dikenal itu memasukkan aku ke dalam mobil. Tolong!!! Tolong aku!!! Dalam batinku sudah berteriak-teriak seperti itu, karena mulutku ditutup jadi tidak bisa berteriak sungguhan. Mobil segera melaju dan aku tidak tau kemana tujuannya. Inikah awal dari kisah dramatisku? Aku sedikit senang karena inilah saatnya impianku menjalani kisah cinta yang dramatis menjadi nyata. Ryan akan menyelamatkan aku dari penjahat-penjahat ini. Keren! Tapi saat ini aku benar-benar dalam bahaya. Tolong!!!
Mulutku akhirnya dibuka. Terang saja setelah itu aku berteriak-teriak. “Tolong!!! Ryan...tolong aku!!!” jeritku di dalam mobil itu.
“Hey, tenang sedikit! Jangan seperti orang gila begitu! Nanti disangkanya aku penculik,” kata seseorang yang takku sadari ternyata ada di sampingku.
Aku menatapnya. Anak cowok ini mungkin sebaya denganku. Penampilannya rapi seperti seorang pangeran atau seorang tuan muda yang kaya raya. Ah, kenapa aku mempermasalahkan hal yang tidak penting seperti itu?
“Kau memang penculik! Dasar penculik!!!” bentakku. “Mau dibawa kemana aku? Kembalikan aku! Tolong!!! Ryan!!!” jeritku lagi.
“Siapa Ryan? Dari tadi kau memanggil nama itu terus,” komentar orang itu.
“Dia Romeoku!” jawabku polos.
“Romeo?”
“Ya”
Aku lalu mencari ponselku di dalam tas bermaksud untuk menelepon Ryan dan menyuruhnya menyelamatkan aku. Orang yang di sampingku diam melihatku. Sepertinya dia tidak keberatan kalo aku menelepon Ryan.
“Kenapa Na?” Itulah kalimat pertama Ryan ketika teleponku diangkat.
“Ryan tolong aku...aku diculik...”
“Apa??? Diculik?”
“Ya, aku diculik...selamatkan aku...”
“Mona jangan bercanda ah, sebentar lagi ekstraku dimulai nih...”
“Bener kok aku diculik...”
Tut...tut tut tut...tut... Teleponku ditutup. Romeoku melarikan diri. Hilang sudah angan-anganku, terbang, pupus di langit biru. Aku melihat orang yang di sampingku tertawa sendiri. Dia pasti menertawakanku.
“Romeomu?” tanyanya.
Aku jadi kesal diledek orang ini. “Tolong!!!” aku berteriak lagi memalingkan kekecewaanku.
“Sudahlah...percuma saja... Oh ya, kau suka ice cream?”
Aku kaget mendengar pertanyaan yang menurutku sama sekali tidak menjurus pada otak-otak kriminal. Ice cream? Tentu saja aku mengangguk. Lalu aku ditrakir ice cream. Aneh sekali, komentarku dalam hati.
“Apa sebenarnya maumu?” tanyaku sambil menjilat-jilat ice cream.
“Menjadikanmu Julietku,” jawabnya.
Mataku membelalak lalu tersedak-sedak entah gara-gara ice creamnya atau gara-gara mendengar perkataannya. “Tapi...aku...”
“Kau sudah jadi Julietnya Ryan?”
“Ya, kau benar!”
Dia tersenyum. “Terserah.! Yang penting aku ingin menjadikanmu Julietku,” katanya kemudian.
Aku diam saja pura-pura tidak menghiraukan perkataannya. Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang dia inginkan. Feelingku juga baik-baik saja, jadi semua akan baik-baik saja. Setelah ice creamku habis, aku diantar pulang kerumah. Terakhir aku sempat menanyakan namanya, dia tersenyum dan menjawab,”Romeo”
Tanda tanya besar menancap di kepalaku. Kerisauan hati yang takku inginkan juga bermunculan. Aku bingung setengah mati. Tentang orang aneh bernama Romeo yang tiba-tiba muncul, tentang kekecewaanku pada Ryan dan tentang kisah cintaku yang gagal menjadi kisah sedramatis Romeo dan Juliet.
Di sekolah hari ini aku tidak konsentrasi dalam mengikuti pelajaran. Aku juga mengantuk gara-gara semalam tidak bisa tidur memikirkan hal-hal aneh itu. Aku berharap hari ini tidak akan diculik lagi dan tidak bertemu Romeo yang aneh itu. Usai jam pelajaran aku meminta Ryan untuk mengantarku pulang. Aku takut diculik Romeo aneh itu lagi.
“Mona...aku hari ini ada latihan basket, jadi gak bisa ngantar pulang...”
“Tapi aku takut. Nanti aku diculik lagi...” rengekku.
Ryan malah tertawa.
“Kau tidak percaya padaku?” Aku menatap Ryan.
Ryan membalas tatapanku, tentu saja dengan tatapan yang sama tajamnya dengan tatapanku. Dia terkesan mulai yakin padaku. Lalu Ryan menjawab,”Tidak!”
Aku kembali merengek-rengek. Tapi Ryan tetap menolak.
“Kalo begitu aku akan menunggumu sampai selesai latihan basket,” tawarku.
“Ide bagus! Selesai latihan aku akan mengantarkanmu pulang,” Ryan setuju.
Aku harus menunggu Ryan latihan basket. Tidak masalah, meskipun panas-panasan tapi asik juga. Aku jadi bisa liat Ryan dengan beberapa pose-pose keren ketika dia main basket yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Meskipun aku agak kecewa padanya, tapi kalau melihatnya seperti ini aku benar-benar merasa dialah Romeoku.
Tapi...aku diculik lagi!!! Singkat waktu aku sudah berada di dalam mobil dan duduk di sebelah Romeo. Meskipun tidak sempat berteriak memanggil Ryan, tapi Ryan melihat dengan jelas kalau aku diculik dan aku yakin Ryan akan menyelamatkanku. Mobil melaju kencang disusul motor Ryan yang juga melaju kencang. Aku jadi terharu menyaksikan kejadian ini.
“Siapa yang di belakang itu?” tanya Romeo.
“Romeoku,” jawabku.
“Ryan?” tanyanya lagi.
“Ya,” kataku mantap. “Itu Ryan. Dia akan mencincangmu karena telah menculikku. Ryan tidak akan mengampunimu...”
“Oh ya?”
“Ya!”
“Kau mau ice cream?”
Akhirnya aku ditraktir ice cream lagi. Meskipun kali ini ice creamnya lebih besar, berlapis coklat batang, dan sungguh menggiurkan, tapi aku tidak menghiraukannya. Aku gelisah menunggu kemunculan Ryan yang akan menghajar Romeo menyebalkan ini karena telah menculikku lagi.
Ryan datang. Dengan gagahnya dia berjalan. Jantungku sempat berdegup karena kagum. Dia seorang Romeo sungguhan. Tanpa kata-kata dia menarik tanganku dan mengajakku pergi. Meninggalkan Romeo aneh  yang hanya bisa terpaku dihadapan ice cream spesialnya. Aku dibonceng di motornya. Ini pertamakalinya aku naik motor dengan Ryan. Padahal dia pacarku dan kami sudah pacaran dari sejak lama. Meskipun tidak baik bercakap-cakap ketika mengendarai motor, sedikit pertanyaan setelah peristiwa tadi rasanya tidak apa-apa.
“Sekarang kita kemana?” tanyaku.
“Mengantarmu pulang,” sahut Ryan.
“Yang tadi itu...tidak adakah sedikit pelajaran, semacam pukulan...hantaman...atau apalah...untuk orang yang telah menculikku?”
“Tidak perlu!” jawab Ryan singkat.
“Kenapa?”
“Kekerasan tidak akan membuatku menjadi pahlawan”
“Ya, kau pahlawanku”
“Kau tidak akan aku serahkan pada siapapun”
Aku tersenyum bahagia. Aku benar-benar yakin bahwa Ryan adalah Romeoku. Aku memeluknya dari belakang dan berbisik,”Romeo...”
Kisah cintaku ternyata tidak harus sama persis dengan kisah Romeo dan Juliet yang dramatis itu. Contohnya kisah yang berakhir dengan iringan air mata, sama sekali tidak menyenangkan. Setidaknya dalam kisah cintaku ada senyuman disetiap lembarannya. Aku bisa menerima kisah cinta yang seperti ini dan seorang Romeo yang selalu setia untukku. Tak selamanya hidup selalu membosankan karena suatu saat hal-hal yang benar-benar diimpikan akan terwujud, jika ada rasa percaya. Aku mencintaimu Romeoku.